TEMPO.CO, Jakarta - Sepuluh anak buah kapal asal Indonesia yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf akhirnya bebas. Guru besar bidang hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan pemerintah harus menegaskan bahwa tidak ada pembayaran apa pun kepada para penyandera. Bila ada pembayaran, hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah.
Menurut Hikmahanto, pemerintah perlu memberi klarifikasi agar publik paham bahwa pemerintah tidak kalah ketika berhadapan dengan para penyandera. “Hal yang sama perlu disampaikan kepada negara-negara yang warganya turut disandera,” ucap Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 1 Mei 2016.
Meski sukses membebaskan sandera, pemerintah tidak boleh lupa bahwa masih ada empat orang lain yang masih ditawan. Hikmahanto berujar, pemerintah akan menghadapi dilema bila perusahaan keempat ABK tidak mau membayar tebusan.
Pasca-penyanderaan ini, pemerintah sebaiknya mengimbau kapal berbendera Indonesia dan ABK WNI yang bekerja di kapal asing menghindari jalur laut yang dikuasai kelompok Abu Sayyaf. “Pembayaran oleh perusahaan menjadikan kapal berbendera Indonesia atau ABK WNI menjadi sasaran empuk,” tuturnya.
Presiden Joko Widodo mengatakan, meski sepuluh ABK WNI tersebut telah bebas, pemerintah Indonesia masih berupaya membebaskan empat ABK lain. Pemerintah pun berencana mengadakan pertemuan dengan Malaysia dan Filipina pada 5 Mei mendatang guna membahas keamanan di perairan perbatasan dan wilayah sekitarnya.
Penyanderaan ABK WNI oleh kelompok Abu Sayyaf terjadi pada akhir Maret lalu. Sepuluh ABK kapal Brahma 12 dan Anand 12 diculik di perairan Filipina selatan. Penyanderaan kembali terjadi pada pertengahan April 2016. Empat ABK WNI yang bekerja kapal tunda TB Henry dan kapal tongkang Cristi menjadi korbannya.
AHMAD FAIZ