TEMPO.CO, Pasuruan -- Pintu gerbang berbentuk gading gajah raksasa khas Taman Safari Indonesia II menyambut kedatangan kami. Bersama beberapa rekan jurnalis, saya dipersilakan berkeliling lembaga konservasi itu selama 3 hari ke depan.
Dua gading yang berdiri bersilangan lantas melemparkan memori saya kembali saat usia kanak-kanak. Terakhir kali saya ke sini saat masih bocah di bangku SD. Tak banyak yang saya ingat dari perjalanan itu kecuali belalai gajah yang menyerobot antusias wortel di genggaman saya.
Saat itu kami tiba malam hari sehingga tak banyak pemandangan yang bisa dinikmati, selain sensasi jalan menanjak nan meliuk-liuk. Kami melepas penat di Barak Banteng Camp, satu kawasan penginapan bagi yang ingin melakukan kegiatan outbound. Rumahnya terbuat dari kayu, dengan deretan ranjang bertingkat. Sesuai namanya, memang mirip barak.
Taman Safari II ini berlokasi di Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Lahan seluas 350 hektare menjadikannya Taman Safari terluas di Indonesia dibandingkan Taman Safari I di Cisarua, Bogor dan Taman Safari III di Bali.
Sejak pukul 08.30 WIB, antrian mobil wisatawan mulai mengular. Padahal pada pukul 09.00 mereka baru boleh masuk. Liburan panjang kali ini menyedot kunjungan ribuan wisatawan. "Dibandingkan hari biasa, lonjakan saat akhir pekan bisa sampai 3 kali lipat," kata Idham Rustian, Humas TSI II Jumat, 6 Mei 2016.
Namun Idham memprediksi jumlah kunjungan saat libur panjang pada Kenaikan Isa Almasih dan Isra Miraj kali ini bisa menyamai liburan Lebaran. Artinya, jumlah wisatawan bisa mencapai 10 kali lipat.
Tak perlu berhitung, saya langsung merasakan riuhnya pengunjung yang mendatangi taman konservasi dengan 2.500 ekor satwa dari 200-an spesies itu.
Sejak memasuki gapura Safari Adventure, saya bertemu antrian kendaraan lagi. Area pertama yang ditemui dalam safari ini adalah kawasan Amerika-Eropa. Persis sebelum gapura, pengunjung bisa membeli wortel segar seharga Rp 5.000.
Begitu menemui sekawanan bison, llama, dan rusa Elk Watipi, berduyun-duyun mobil melambatkan lajunya. Tangan-tangan mungil anak-anak menjulur dari balik kaca jendela, memberi makan satwa herbivora itu. Pemandu kami, Viktor Bayu, memberi satu saran bagus soal itu. Terutama Llama. "Kalau cuping telinganya melipat ke belakang, artinya dia lapar," kata dia. Jika keinginan hewan itu tidak dipenuhi, maka pengunjung kudu bersiap menerima semburan liurnya yang super bau. Semburan itu menjadi senjata utama Llama kepada musuh.
Setelah zona Amerika-Eropa, kami memasuki kawasan karnivora. Hewan yang mejeng mulai dari beruang coklat, harimau putih, Benggala, dan singa. Tentunya, pengunjung dilarang membuka kaca jendela. Beruang coklat tampak bermalas-malasan di kolamnya. Petugas ranger berjaga-jaga di setiap sudut lokasi satwa-satwa itu, berjaga dari kemungkinan pengunjung nakal yang menurunkan kaca jendela mobilnya. "Atau (untuk menegur) pengunjung yang membuang sampah," kata Viktor.
Satwa leluasa bergerak dari satu sisi jalan ke sisi yang lain. Namun, untuk satwa-satwa tertentu mereka diberi pagar pembatas berupa kawat elektrik yang memiliki arus DC. Setiap satu detik, listrik mengejutkan si satwa untuk tujuan keamanan.
Taman Safari, kata Viktor, berupaya menjaga agar perilaku satwa sesuai habitat asalnya melalui beberapa sarana pengayaan (enrichment). Misalnya batang-batang pohon pinus yang sengaja dirobohkan sebagai titian harimau benggala, tali-temali yang terjuntai antara pohon dan tempat berteduh bagi simpanse atau orang utan untuk bergelantungan.
Di kawasan satwa Asia, kami disambut replika candi dan patung. Berbagai primata seperti siamang, orangutan, kemudian rusa, antelop, hingga bermacam spesies endemic Indonesia; babi rusa, babi kutil, rusa timor, banteng Jawa, dan tapir Sumatera.
Di atas ketinggian 800 meter dari permukaan laut, hujan mulai turun, membasahi Desa Jatiarjo saat saya mulai memasuki kawasan unta punuk dua, komodo, dan buaya muara. Antrian mobil yang memadati tiap tikungan untuk memfoto satwa mulai pecah. Satu per satu mereka mempercepat lajunya.
Sebentar lagi, kami memasuki kawasan Afrika. Satwa-satwa di sini paling atraktif dan melimpah, ramah menyapa siapapun yang mendekat. "Satwa di sini justru semakin banyak yang keluar ketika hujan," kata Viktor. Zebra di depan bus kami mulai mendekati mobil di belakang. Lagu-lagi tangan dengan genggaman wortel memberinya sarapan.
Perjalanan kami pagi itu diakhiri makan siang di Restoran Tiger Cave, di kawasan Rekreasi. Taman Safari II terdiri dari 3 zona, yakni zona Safari Adventure alias zona satwa, zona Rekreasi yang terdiri dari bermacam wahana, dan zona Baby Zoo. Reatoran yang kami kunjungi ini berada di area rekreasi.
Di Tiger Cave, kami bersantap siang dengan ditemani tiga ekor harimau Benggala yang sesekali hilir mudik di luar kaca. Suasananya pun pas, diiringi musik khas India, negeri asal si harimau. Saya memilih menu istimewa berupa black pepper tenderloin sapi lokal. Di luar kaca, si harimau juga tengah makan; beberapa potong ayam yang dilempar dari atas gua.
Saya jadi teringat lagi perjalanan ke Taman Safari waktu masih kecil dulu. Satu hal yang paling mengesankan waktu itu adalah saya sempat berfoto bareng bayi harimau sambil merasa takut. Ah, nanti akan saya coba ulang. Kangen!
ARTIKA RACHMI FARMITA