TEMPO.CO, Semarang – Keputusan pemerintah meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang hukuman kebiri pelaku kejahatan seksual terhadap anak ditolak lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jawa Tengah.
Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jawa Tengah yang selama ini mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memprediksi kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak akan bisa ditekan dengan bentuk hukuman kebiri.
“Kami tak setuju hukuman kebiri. Tindakan kekerasan seksual tidak hanya berasal dari alat kelamin laki-laki, tapi lebih pada cara berpikir. Kekerasan seksual bisa dilakukan dengan jari, tangan, dan lain-lain,” kata Kepala Divisi Monitoring, Informasi, dan Dokumentasi LRC-KJHAM Jawa Tengah Witi Muntari kepada Tempo di Semarang, Kamis, 26 Mei 2016.
Witi menyatakan hukuman kebiri juga melanggar hak asasi manusia karena termasuk kategori penyiksaan. Negara Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi anti-penyiksaan. “Hukuman kebiri juga melanggar hak sipil politik individu,” kata Witi.
LRC-KJHAM mendesak pemerintah lebih mengutamakan pemulihan terhadap korban. Selama ini, kata Witi, pemulihan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan masih sangat kurang, terutama untuk korban kasus kekerasan seksual. “Misalnya akses korban terhadap pemulihan medis, penegakan hukum, reintegrasi, dan lain-lain,” ujarnya.
Baca juga: Heboh Hukum Kebiri, Bagaimana Bila Dilakukan dengan Jari?
Berdasarkan pantauan LRC-KJHAM, kasus kekerasan perempuan di Jawa Tengah didominasi kekerasan seksual. Misalnya, selama periode Januari hingga April 2016, di Jawa Tengah ada 226 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, sebanyak 34,07 persen adalah kasus kekerasan seksual.
Adapun selama periode November 2014-Oktober 2015, ada 477 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan jumlah korban 1.227 perempuan. Dari 477 kasus kekerasan itu, jumlah pelakunya mencapai 712 orang karena ada beberapa kasus yang jumlah pelakunya lebih dari satu orang.
Dari 1.227 korban kekerasan terhadap perempuan, 68,38 persen korban mengalami kekerasan seksual, 16,87 persen korban mengalami kekerasan psikis, dan 14,75 persen korban mengalami kekerasan fisik.
Dari kasus itu, sebanyak 21 perempuan meninggal dunia itu karena beberapa sebab, seperti 9 perempuan meninggal dunia karena kasus buruh migran, 8 meninggal karena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 2 meninggal karena kasus Kekerasan dalam Pacaran (KdP), 1 meninggal karena kasus pemerkosaan, dan 1 meninggal karena kasus prostitusi.
Presiden RI Joko Widodo sudah menandatangani Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bekas Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini menuturkan, dalam Perpu ini, diatur mengenai pidana pemberatan, pidana tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku. Presiden Jokowi menyatakan pemberatan pidana berupa tambahan pidana sepertiga dari ancaman penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati masuk ke pemberatan pidana.
Sedangkan untuk tambahan pidana alternatif yang diatur ialah pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Presiden mengatakan penambahan pasal itu akan memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya. "Agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku," ucap Jokowi.
ROFIUDDIN