FEATURE: Menengok si Mbah Lebaran di Griya Wreda Surabaya  

Ilustrasi warga lanjut usia (Lansia) dan kesehatan jasmani. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi warga lanjut usia (Lansia) dan kesehatan jasmani. ANTARA/Aditya Pradana Putra

TEMPO.CO, Surabaya - Sinar matahari mulai beranjak surut. Belasan kaum berusia lanjut (lansia) mulai duduk-duduk di teras, ngobrol satu sama lain. Ini waktunya para kakek dan nenek bergiliran mandi. "Ayo Mbah, wayahe siram (Ayo Nek, waktunya mandi)," ujar salah satu perawat UPTD Griya Wreda Surabaya, Noky Andreas, Jumat, 8 Juli 2016.

Nur Cahayati, 63 tahun, beringsut dari kasurnya di Ruang Apel. Ia menyahut seruan Noky, lalu menggandeng gayung berisi peralatan mandi dan melingkarkan handuk di sekitar lengan. Melihat Tempo di bibir pintu kamarnya, ia tersenyum. Wajahnya tampak terkejut saat Tempo meraih telapak tangan dan mengecupnya.

Perempuan asal Pacar Kembang, Surabaya itu baru pertama kalinya merasakan Hari Raya Idul Fitri di Griya Wreda, atau yang biasa disebut Panti Jompo. Nur mengaku mendaftar sendiri ke Dinas Sosial bersama suaminya 9 bulan lalu, setelah hartanya habis dan tak sanggup membayar kontrakan. "Anak kulo telu, pun pejah sedaya (anak saya tiga orang, sudah meninggal semua)," tuturnya sembari terisak.

Sementara itu, saudara sepupu dan kerabat lain dinilainya tak peduli. Beruntung ia mengantongi Kartu Tanda Penduduk Surabaya, sehingga ia boleh tinggal di bangunan berpenghuni 75 orang lansia tersebut. "Nggih ngeten niki Riyadhin, sepen mboten wonten sing nginguk (ya seperti ini Lebaran, sepi nggak ada yang menengok)."

Sama halnya dengan Akeman. Kakek 88 tahun itu juga tak merayakan Hari Raya secara khusus. Hari-harinya dihabiskan seperti biasa, sesuai jadwal aktivitas penghuni Griya Wreda; senam, keterampilan, pengajian, sesekali jalan-jalan di sekitar kompleks. Ia masih tampak segar bugar dan ingatannya cukup kuat, meski mata kirinya sudah tak ada.

Dengan penuh semangat, Akeman berkisah kalau dia adalah salah satu pejuang pada masa perang kemerdekaan. "Aku iki biyen anak buah-e Bung Tomo! Ndelik-ndelik, nggowo bambu (aku ini dulu anak buahnya Bung Tomo. Sembunyi-sembunyi, membawa bambu)," serunya. Sayangnya, ia terlambat mendaftarkan diri sebagai veteran gara-gara kabur selama setahun ke Jatiwangi akibat dikejar mata-mata Belanda.

Roda hidupnya berputar saat berusia senja. Meski mengaku menikah sampai 5 kali, satu per satu istrinya meninggal. Tiga anak-anaknya merantau, dua di antaranya meninggal juga. Ia dievakuasi petugas Linmas saat banjir melanda rumah satu-satunya di daerah Kedurus, Surabaya. "Aku teriak...tolong, tolong. Mripatku kan gak ketok (mataku kan nggak kelihatan)," kata dia, mengenang.

Noky mengatakan, selama Lebaran ini, tak banyak sanak saudara yang berkunjung ke sana. Hingga hari ketiga Idul Fitri, hanya sekitar 15 orang lansia yang dijenguk. "Itupun rata-rata keponakan, dan tidak untuk membawanya kembali pulang."

Alasannya ialah tak adanya kedekatan emosional maupun kesulitan finansial. Kerabat keberatan menanggung biaya hidup si kakek atau nenek yang telanjur ditempatkan anaknya di panti jompo. Dari 75 orang lansia, Noky menyebutkan, 10 persen di antaranya memang ditempatkan di sana oleh anak mereka sendiri.

Sedangkan sisanya 45 persen karena sebatang kara dan 45 persen hasil razia oleh petugas Linmas maupun Satpol PP di jalanan. "Yang terlantar itu biasanya dilaporkan oleh tetangga ke ketua RT atau RW, lalu ke pak Lurah, lalu ke Kepala Dinas Sosial," tuturnya.

Saenah, 90 tahun, mengaku bersyukur masih diperbolehkan tinggal dan dirawat di Griya Wreda. "Mungkin memang nasib saya begini. Tapi yang penting ibadah dan cari kesibukan," kata dia, mengusap air mata.

ARTIKA RACHMI FARMITA