TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak pemerintah meninjau ulang penerapan vonis hukuman mati. Menurut Kepala Divisi Hak Sipil Politik Kontras Putri Karnesia, sejumlah vonis mati yang dikeluarkan pengadilan tidak melewati proses hukum yang benar.
Salah satu kasus yang sedang ditangani saat ini adalah vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara.
Dari temuan Kontras, salah satu terpidana, yaitu Yusman, masih di bawah umur saat peristiwa pembunuhan yang melibatkannya terjadi pada 2012. "Kami khawatir eksekusi berikutnya bisa jadi langkah buruk," kata dia di kantor Kontras, Jakarta, Sabtu, 23 Juli 2016.
Seperti diberitakan, Yusman Telaumbanua alias Aris bersama Rusula Hia alias Ama Sini dijatuhi vonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara, pada Mei 2013. Keduanya dituding terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br. Haloho.
Putri menilai kasus yang menimpa Yusman bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan hukuman mati. Pasalnya, proses peradilan yang berjalan di pengadilan Indonesia belum ideal.
Dia mencontohkan eksekusi mati terhadap Mary Jane dalam kasus narkoba beberapa waktu lalu. Pelaksanaan hukuman terpidana asal Filipina itu ditunda. Ini terjadi karena ada pihak yang mengatakan Mary hanyalah korban perdagangan manusia.
Staf Divisi Hak Sipil Politik Kontras, Arif Nur Fikri, menilai sistem peradilan Indonesia masih rentan terkait dengan vonis hukuman mati. "Belum proporsional proses hukumnya," ucapnya.
Kontras mendesak pemerintah membentuk tim evaluasi sebelum hukuman mati dilaksanakan.
Ihwal kasus Yusman, kata Arif, Kontras telah mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan hukum Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Dia berharap putusan itu bisa dibatalkan. "Saat ini fokus kami ke pengajuan PK dulu," ujarnya.
ADITYA BUDIMAN