TEMPO.CO, Jakarta - Lima orang tua korban vaksin palsu melaporkan Direktur Utama Rumah Sakit Elisabeth Antonius Yudianto ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Sabtu, 23 Juli 2016. Mereka menganggap pihak rumah sakit telah terlibat dengan distributor vaksin palsu untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka.
"Direktur rumah sakit, manajemennya, dan dokter termasuk apoteker, kami meyakini ini konspirasi. Bagaimana mungkin distributor obat tak resmi, abal-abal, bisa masuk," kata Hudson Hutapea, kuasa hukum orang tua korban saat ditemui di depan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Metro Jaya.
Apalagi, kata Hudson, sudah ada surat pernyataan dari Antonius bahwa pihaknya akan bertanggung jawab terhadap korban penggunaan vaksin palsu di RS Elisabeth. Namun hingga saat ini, belum ada tindakan dari rumah sakit untuk bertanggung jawab, bahkan dalam mengganti uang uji laboratorium korban.
Ia juga menuntut ada pidana lebih bagi pihak rumah sakit dengan pasal 196 dan pasal 197 soal obat, selain pasal 197 terkait masalah izin edar seperti yang diterapkan pada tersangka pemalsu vaksin oleh Mabes Polri. "Ada upaya melokalisir mengamankan dokter dan rumah sakit, kami mau ini diungkap semua," kata dia.
Ia mengegaskan ini merupakan kasus besar yang berimplikasi pada generasi muda Indonesia. Salah satu orang tua korban, Antoni Togap, mengatakan sudah pernah menyuntikan vaksin hepatitis ke anaknya pada November 2015.
Namun, setelah menjalani uji laboratorium, hasilnya menunjukan anaknya nonreaktif atau negatif dari vaksin. Keyakinan Antoni bahwa anaknya korban vaskin palsu, bertambah dengan adanya nama anaknya dalam daftar pasien yang diimunisasi di RS Elisabeth periode 2006-Juli 2016.
"Saya sudah cek dan hasilnya antibodinya sedikit. Saya disarankan ke dokter anak untuk konsultasi," kata Antoni. Padahal dia sudah mempercayai rumah sakit tersebut selama ini. Persalinan anaknya yang kini berusia dua tahun pun dilakukan di sana.
EGI ADYATAMA