TEMPO.CO, Jakarta - Serikat buruh menggugat Undang-Undang Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai undang-undang itu tidak adil. "Ada ketidakadilan dalam Undang-Undang Tax Amnesty," kata Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Muchtar Pakpahan, Selasa, 26 Juli 2016, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Dia mengatakan ketidakadilan itu terutama terdapat pada pasal 1, 3, 4, 21, 22, dan 23 UU Tax Amnesty. Melalui pasal-pasal itu, UU Tax Amnesty akan dijadikan sarana pencucian uang hasil kejahatan para pengusaha, seperti korupsi, human trafficking, penggelapan pajak, dan narkoba. "(Hasil) tindak pidana itu akan dicuci uangnya melalui undang-undang ini," kata Muchtar.
UU Tax Amnesty dinilai menciptakan peluang Indonesia menjadi negara pencuci uang hasil tindak pidana. "Melalui gugatan ini, hentikanlah money laundering."
Gugatan judicial review UU Tax Amnesty tidak hanya dilakukan SBSI, tapi juga serikat buruh lain, yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) cabang Karawang, dan Dewan Pimpinan Pusat Partai Buruh (DPP PB). Mereka mendatangi kantor MK untuk melengkapi berkas gugatan yang telah diajukan pada Jumat pekan lalu.
Kuasa hukum penggugat Eggi Sudjana mengatakan dasar gugatan mereka adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 atas perbaikan UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam undang-undang itu, kata Eggie, disebutkan pajak adalah kontribusi wajib pada negara dari perorangan ataupun badan. Pajak juga bermakna iuran rakyat kepada negara untuk pembangunan.
Adapun Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan setiap warga negara punya kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, tanpa kecuali. "Tapi, dalam UU Tax Amnesty ini, ada kecualinya, yaitu untuk konglomerat, pengemplang pajak, dan pencuci uang. Karena itu, undang-undang ini kontradiktif dengan UUD 1945," ucap Eggi.
AMIRULLAH