TEMPO.CO, Depok – Jurnal Antropologi Indonesia mengadakan simposium internasional keenam di kampus Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat. Acara ilmiah yang berlangsung pada 26-28 Juli 2016, diikuti ratusan peserta dan penyaji karya tulis dari 15 negara. “Ada 18 panel yang mendiskusikan 174 karya tulis,” kata Ketua Panitia Pelaksana Simposium Jurnal Antropologi Semiarto Aji Purwanto.
Tema simposium ini adalah Post-Reformasi Indonesia: The challenges of social inequalities and inclusion. Tema ini dipilih untuk merefleksikan kembali perjalanan reformasi di Tanah Air selama dua dekade. "Kami ingin menelaah janji-janji reformasi melalui riset para ahli yang akan memaparkan karyanya," kata Semiarto.
Menurut Semiarto, dalam perjalanan selama reformasi ternyata ada kesenjangan sosial dan inklusi. Pemerintah, masyarakat dan media massa hanya fokus pada isu-isu politik dan ekonomi saja. Sementara dimensi sosial budaya kurang menjadi perhatian, bahkan dilupakan.
Ketua panitia pengarah simposium, Suraya Afif menjelaskan ada sejumlah pertanyaan yang akan didiskusikan dalam acara ilmiah ini. “Pertama, bagaimana persoalan etnisitas, jender dan berbagai faktor sosial dan politik lainnya mempengaruhi ketimpangan ekonomi?,” katanya.
Kedua, bagaimana persoalan akses dan kontrol atas lahan dari sumber-sumber alamnya berkontribusi pada ketimpangan kesejahteraan dari sebagian besar masyarakat. Ketiga, bagaimana kelompok-kelompok miskin dan marginal berjuang untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-harinya.
Keempat, bagaimana kebijakan nasional maupun aktor-aktor internasional mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Kelima, bagaimana ilmuan sosial, khususnya antropologi dapat berkontribusi dalam menjawab persoalan kesenjangan dan inklusi sosial ini.
Sejumlah ilmuwan akan berbicara dalam simposium ini, antara lain James J. Fox (ANU), Kathryn Robinson (ANU), Danilyn Rutherford (University of California), Elizabeth Drexler (Michigan State University), Ratna Saptari (Leiden University), Max Richter (Monash University), Yunita Winarno (UI), Bambang Shergi (UI), Dedi Adhuri (LIPI), Riwanto Tirtosudarmo (LIPI) dan lainnya.
Selain simposium, diselenggarakan pula pemutaran film dan pameran foto di halaman kampus FISIP UI. “Foto itu hasil bidikan pengungsi Afghanistan yang terdampar di Indonesia,” kata Semiarto.
Kepala Departemen Antropologi FISIP UI Tony Rudyansjah menjelaskan rangkaian simposium sejak yang pertama (tahun 2000) hingga saat ini ingin menunjukkan peran ilmu antropologi di Tanah Air.
Sejak era Profesor Koentjaraningrat dan Prof Harsya Bachtiar di tahun 1970-an, katanya, banyak mahzab yang berkembang. Masing-masing memiliki karakteristik dan berjalan secara alamiah. Pendekatan antropologi, ujarnya, mulai dari yang mikroskopik atau kecil-kecil. “Dari yang kecil-kecil seringkali membuat kegaduhan,” ujar Tony.
UNTUNG WIDYANTO