TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Gerindra Mohamad Sanusi didakwa melakukan pencucian uang sebesar Rp 45,28 miliar. Jaksa penuntut umum dari KPK menyatakan harta tersebut merupakan hasil korupsi saat menjabat sebagai anggota Dewan DKI Periode 2009-2014 dan Ketua Komisi D Dewan DKI Periode 2014-2019.
"Patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1," kata Jaksa Ronald Worotikan saat membacakan dakwaan Sanusi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu, 24 Agustus 2016.
Jaksa Ronald mengatakan duit Rp 45,28 miliar yang diterima Sanusi dialihkan untuk pembelian tanah dan bangunan, serta kendaraan bermotor. Selain itu, Sanusi juga menyimpan uang sejumlah US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumah Jalan Saidi I Nomor 23 Kelurahan Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pengalihan kekayaan itu, kata Ronald, bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul kekayaannya. "Agar harta kekayaan yang merupakan hasil korupsi tersebut seolah-olah bukan berasal dari suatu kejahatan," ujar dia.
Ronald menyebutkan uang Rp 45,28 miliar itu berasal dari proyek pekerjaan di Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI antara tahun 2012-2015. Pemberinya berasal dari rekanan Sanusi yang menggarap proyek-proyek tersebut.
Di antaranya adalah Direktur Utama PT Wirabayu Pratama Danu Wira yang memberi Sanusi Rp 21,18 miliar. Selanjutnya dari Boy Ishak selaku Komisaris PT Imemba Contractors, Sanusi mendapat Rp 2 miliar.
Sanusi juga disebut mendapatkan duit dari penerimaan-penerimaan lain sejumlah Rp 22,1 miliar.
Menurut Ronald, penerimaan gaji yang diterima Sanusi selama menjadi anggota Dewan tak sebesar harta kekayaan yang dimiliki. Gaji Sanusi di DPRD selama 2009 hingga 2016, jika diakumulasi hanya mencapai Rp 2,3 miliar. "Itu kotor, sudah plus tunjangan dan tidak digunakan untuk makan dan minum," kata dia.
Meski Sanusi adalah seorang pengusaha, gajinya yang diperoleh dari PT Bumi Raya Properti juga hanya Rp 2,5 miliar. Jika diakumulasi dengan gaji anggota Dewan, tak lebih dari Rp 5 miliar. "Sehingga asal-usul perolehannya menyimpang dari profil penghasilan terdakwa sebagai anggota DPRD DKI," kata Ronald.
Akibat perbuatan pencucian uang ini, Sanusi didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Selain pencucian uang, Sanusi juga didakwa menerima suap dari bos Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja sebesar Rp 2 miliar. Suap ini diduga diberikan kepada Sanusi agar dia membantu mempercepat pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan daerah rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta.
Dalam dakwaan tersebut, Sanusi dinyatakan melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Sanusi hanya diam saja ketika mendengar jaksa membacakan dakwaannya. Ia menerima dan tak mengajukan eksepsi. Meski demikian, Sanusi merasa keberatan karena menganggap dakwaan jaksa kurang terang.
"Dakwaan tidak terang, di situ kan disebut penerimaan-penerimaan lain, itu maksudnya siapa? Itu keberatan kami," kata kuasa hukum Sanusi, Maqdir Ismail. Namun, ia memastikan bahwa pihaknya menerima dakwaan itu.
MAYA AYU PUSPITASARI