TEMPO.CO, Jakarta - Tanggal 15 Agustus 2014 menjadi hari yang nahas bagi Nadia Murad Basee Taha. Tengah belajar di sekolah yang tak jauh dari rumah orang tuanya di Desa Kocho, Sinjar, Irak, Nadia bersama sejumlah temannya dikejutkan oleh aksi milisi ISIS. Bersenjatakan lengkap, para milisi mengepung sekolah dan menangkapi semua siswi, termasuk Nadia, pada Jumat sore dua tahun lalu itu.
Milisi ISIS menculik anak-anak sekolah dan membawanya dengan bus ke Mosul, sekitar 130 kilometer dari Sijar. Kejadian miris dan mengerikan, di sana Nadia dipaksa menikahi milisi ISIS, diperkosa, dipukuli, dan dijadikan budak seks.
Mendapat perlakuan seperti itu, belum lagi menyaksikan kekejaman ISIS, Nadia nekat melarikan diri setelah tiga bulan disekap. Ia berhasil diselamatkan dan dibawa ke Jerman.
Nadia kehilangan orang tuanya. Enam saudara laki-lakinya tewas dibunuh ISIS di depan matanya sebelum ia diculik. Tiga saudaranya yang lain selamat dari pembunuhan massal. Namun dia kini tak tahu keberadaan orang tua dan saudara-saudaranya.
Dua tahun berlalu sudah. Nadia, kini 21 tahun, mengetahui ISIS masih menguasai Sinjar. ISIS memburu hingga tak satu pun anggota kaum Yazidi hidup di Irak. “Kami hanya punya dua pilihan: pindah agama atau mati,” ujar Nadia di situs pribadinya, www.nadia-murad.com
Menjadi korban kekejaman ISIS tak menyurutkan Nadia untuk terus memperjuangkan hak-hak kaumnya. Pekan lalu, Nadia berkunjung ke Australia untuk menyuarakan penderitaan mengerikan yang dialami komunitas Yazidi di tangan ISIS. Hal sama dilakukannya di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, saat bertemu dengan kepala pemerintahan sejumlah negara atau berbicara dengan media internasional.
Difasilitasi Australian Institute for Holocaust and Genocide Studies serta Asia-Pacific R2P Centre, Nadia bertemu dengan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull serta berbicara di hadapan para mahasiswa di Universitas Sydney dan Universitas Queensland.
“Saya menuntut tanggung jawab masyarakat internasional terhadap para kriminal itu (ISIS) dan memberikan hak kepada semua orang, khususnya minoritas agama yang hidup di Irak,” ucap Nadia menjelaskan tuntutannya kepada Tempo melalui saluran telepon, Jumat lalu. Nadia didampingi penerjemahnya, Ahmed Khudida, yang juga Wakil Direktur Eksekutif Yazda, organisasi Global Yazidi—berkantor di Amerika Serikat—dalam menjelaskan hal itu.
Ahmed dan Nadia berharap ada tindakan konkret masyarakat internasional terhadap ISIS. Sebab, semua bukti kekejaman milisi jelas-jelas terlihat. Bahkan PBB sudah merilis laporan investigasinya pada 16 Agustus 2016. Tapi ISIS masih bebas berkeliaran di Irak. “Mengapa mereka tidak mengambil tindakan? Mengapa mereka tetap diam? Ini semua membuat kami frustrasi,” ujar Ahmed.
MARIA RITA