TEMPO.CO, Pekanbaru - Tubuh Salumi Siladada terlihat kurus kering. Ada luka yang terlihat masih basah di punggungnya. Warnanya merah dan berair. Luka itu adalah bekas sengatan panasnya setrika. Bagian tubuhnya yang lain dipenuhi memar. Pilu dan sangat memprihatinkan.
Begitulah kondisi Salumi, 16 tahun, saat ditemukan penduduk di pinggir Jalan Lintas Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau, pada 1 Juni 2016 lalu. Mereka melaporkan dan membawa Salumi ke Kepolisian Siak Hulu. Tidak banyak informasi bisa dikorek dari Salumi yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. “Dia sulit berbahasa Indonesia,” kata Rosmaini, Ketua Lembaga Bantun Perlindungan Anak Riau (LBPAR), Selasa kemarin, 21 September 2016.
Rosmaini kembali menceritakan masa-masa pilu ditemukannya Salumi itu dengan nada keprihatinan. Salumi mendapatkan sedikit keberuntungan karena ada warga Pandau Jaya di Siak Hulu yang menampungnya sepekan, selama masa penyelidikan polisi. Namun ia susah diajak berbicara. “Dia trauma dan ketakutan,” ujar Rosmaini.
Salumi merantau dari Bumi Flores untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Rosmaini mengetahui informasi itu setelah ia bertemu dan mewawancarai Salumi pada 6 Juni 2016. Di sana Salumi akhirnya berbicara sambil terbata-bata dan menitikkan air mata. Ia mengaku luka-luka itu karena disiksa oleh majikannya yang ia panggil Cece.
Setelah mendapatkan certa itu, Rosmaini bersama penduduk dan Paguyuban Masyarakat Timur Riau melaporkan penganiayaan terhadap Salumi ke Direktorat Kriminal Umum Kepolisian Daerah Riau. Di depan penyidik, Salumi pelan-pelan mulai mendetilkan asal-usul dan kronologis perantauannya. “Di sana (kantor polisi) semuanya kemudian terungkap,” tutur Roslaini.
Majikannya bernama Chaerlenen Fang alias Susi, warga Jalan Riau, Pekanbaru. Salumi disalurkan oleh salah satu agen penyalur pembantu rumah tangga PT Karya Abadi Timur di Jambi.
Lewat penelusuran polisi, PT Karya Abadi diduga acapkali mempekerjakan anak di bawah umur. Saat dipekerjakan, usia Salumi diduga dimanipulasi. Salumi Siladada yang lahir pada 7 Maret 2000 ditambah umurnya menjadi kelahiran 7 Maret 1997. Artinya usia Salumi diklaim sudah berusia 19 tahun.
Salumi bekerja untuk Susi di Pekanbaru selama tiga bulan. Selama itu pula Salumi mendapatkan perlakuan sadis dari sang majikan. Selama bekerja, Salumi tidak pernah menerima gaji, jarang diberi makan dan tidur di kamar mandi. Setiap hari, dipukul pakai rotan sebanyak 100 kali. "Korban disuruh menghitung sendiri jumlah pukulannya," kata Direskrim Polda Riau Komisaris Besar Surawan, Juni lalu.
Puncak penyiksaan itu berlangsung pada awal Juni 2016. Salumi yang lemah tidak berdaya akibat siksaan dibawa ke kawasan sepi di Jalan Lintas Pasir Putih, Siak Hulu. Susi, majikannya, membuangnya ke pinggir jalan, tepat di depan Puskesmas Siak Hulu.
Usai penelusuran laporan Salumi, polisi bergerak. Mereka menangkap Susi di rumahnya, Jalan Riau, Pekanbaru. Ia langsung ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan.
Berdasarkan hasil penyidikan, Susi diduga telah melakukan penyiksaan dan membuang korban dengan cara keji. Mendengar kabar penangkapan itu, Roslaini mengaku puas. Saat itu ia mengapresiasi keputusan polisi yang dinilai berpihak kepada keadilan.
Tanpa disangka, keputusan polisi berubah 180 derajat. Entah apa sebabnya, sikap polisi berubah. Polisi malah membebaskan Susi yang telah berstatus tersangka. “Polisi yang semula semangat menangani kasus, begitu cepat berubah sikap setelah bertemu keluarga pelaku," ucap Rosmaini dengan nada kecewa.
Kepolisian membenarkan tidak menahan Susi karena alasan kemanusiaan. Polisi mempertimbangkan tidak menahan pelaku karena masih memiliki anak balita serta kondisi psikologis pelaku belum stabil. "Pelaku memiliki anak balita usai 4 tahun," ujar Surawan ketika itu.
Pelaku pun tidak mengalami kelainan jiwa. Hanya saja, kata Surawan, pelaku depresi lantaran gagal dalam berumah tangga.
Alasan itu membuat LBPAR meradang. Rosmaini menilai alasan polisi tidak masuk akal. LB-PAR mengecam keras keputusan polisi yang tidak berpihak pada keadilan. "Kami sedih, seharusnya polisi memperlakukan setiap masyarakat sama di mata hukum," kata Roslaini.
Rosmaini merasa kecewa dengan alasan kemanusiaan yang disampaikan polisi, karena pelaku masih memiliki anak di bawah umur berusia 4 tahun. Dengan alasan itu, polisi tidak menahan sang mantan majikan meski sudah berstatus tersangka.
Padahal, kata Roslaini, perlakuan Susi terhadap korban Salumi lebih tidak manusiawi karena menyiksa korban dengan sadis. "Tidak ada alasan bagi polisi untuk tidak menahan pelaku," ujarnya.
Rosmaini menuding polisi sengaja menutup-nutupi kasus tersebut. Sebab kata dia, faktanya Susi sebenarnya tidak memiliki anak berumur 4 tahun sebagaimana yang disampaikan polisi kepada media. "Anaknya sudah berumur 7 tahun, sudah sekolah dasar, tidak benar itu masih 4 tahun. Polisi sengaja menutup-nutupi kasus ini," ucapnya.
Ketika itu, Rosmaini mengeluarkan ancaman. Bila polisi tidak bertindak tegas dengan menahan pelaku hingga Jumat, 25 Juni 2016, maka pihaknya akan membawa kasus tersebut ke Mabes Polri. "Kami merasa tidak mendapat keadilan di Polda Riau," katanya.
Belum sempat membuat laporan ke Mabes Polri, dua orang pria yang mengaku keluarga Salumi di NTT, berkunjung ke Riau. Satu diantaranya merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah NTT. Sang anggota dewan mengaku membawahi urusan perlindungan anak dan perempuan. "Dia datang bersama paman Salumi," kata Rosmaini.
Sempat terjadi tarik ulur antara pihak keluarga bersama LBPAR kala itu. Pihak keluarga ingin membawa Salumi pulang ke NTT. Namun setelah diberi penjelasan, akhirnya pihak keluarga bersedia menitipkan Salumi kepada LBPAR hingga perkara hukumnya selesai di Polda Riau. "Penitipan kepada kami dilengkapi surat pernyataan," kata Rosmaini.
Mereka juga bertemu kepolisian. Rosmaini kemudian merasakan perubahan sikap begitu cepat dari pihak keluarga setelah melakukan pertemuan dengan pihak kepolisian. Dalam pertemuan itu, diputuskan bahwa Salumi dibawa pulang oleh keluarganya dengan alasan orang tuanya tengah sakit di NTT. Kesepakatan awal mereka akhirnya batal.
Anehnya, kata Rosmaini, alasan itu justru disampaikan oleh polisi, bukan dari perwakilan pihak keluarga. Mendapat dorongan dari polisi, akhirnya perwakilan keluarga pun sepakat membawa Salumi pulang ke NTT. Rosmaini sangat menyayangkan keputusan tersebut. "Salumi harus pulang sebelum kasusnya selesai" ucapnya.
Padahal kata Rosmaini, sejak berada dalam pendampingan LBPAR, kondisi psikologis Salumi sudah mulai membaik. Salumi sudah mulai bisa berinteraksi dengan orang banyak dan begitu ceria. "Selama tinggal bersama kami, sudah kami anggap seperti anak sendiri," katanya.
Saat akan dipulangkan, Roslaini memberikan Salumi satu handphone lengkap dengan nomor telepon supaya mudah memantaunya setelah tiba di NTT. Namun tidak lama meninggalkan Riau, Salumi tidak dapat dihubungi. Handphone yang dititipkan kepadanya tidak pernah aktif lagi. Sang anggota DPRD pun sulit dihubungi.
Hingga kini Surawan memastikan proses hukum kepada Susi terus berlanjut. Penyidik kata dia, telah melakukan pemeriksaan ulang terhadap korban Salumi belum lama ini. "Korban didampingi pengacaranya sempat datang untuk menjalankan pemeriksaan," katanya, kepada Tempo, Kamis, 22 September, 2016.
Surawan beralasan, lantaran keberadaan Salumi yang jauh di NTT membuat proses penyidikan sedikit terhambat. Menurutnya, kedua belah pihak sempat berencana memilih jalan damai dan bakal mencabut laporan tersebut. “Katanya mereka akan bertemu untuk berdamai, kalau memang begitu kami akan ikuti. Nanti kami akan konsultasikan bersama jaksa dan hakim," katanya.
Tiga bulan berlalu, LBPAR sudah putus kontak dengan Salumi. Entah apa kabarnya sekarang. Roslaini mengenang, Salumi pulang ke kampung halaman masih membawa bekas luka dari panasnya setrika. "Sampai kini kami tidak tahu lagi kabarnya. Kami hanya bisa berharap, tidak ada lagi Salumi-Salumi yang lain," tutur Rosmaini.
RIYAN NOFITRA