TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini sedang menelusuri praktek suap petinggi Badan Usaha Milik Negara di Singapura. Agus mengatakan, pelakunya tak hanya satu. Modusnya pun bermacam-macam.
KPK mengintensifkan kerja sama dengan Biro Investigasi Praktek Korupsi (CPIB) Singapura dalam upaya penangkapan lintas negara. Dalam wawancara sekitar 90 menit dengan wartawan Tempo Anton Aprianto, Linda Trianita, Aisha Shaidra, Muhammad Rizki, Reza Maulana, Sapto Yunus, dan fotografer Eko Siswono pada Kamis pekan lalu, 22 September 2016, itu, Agus blak-blakan mengenai hal itu. Berikut petikan wawancaranya yang diambil dari Majalah Tempo yang terbit Senin, 26 September 2016.
Dua pekan lalu, Anda mengatakan KPK tengah menelusuri praktek suap petinggi BUMN yang dilakukan di Singapura?
Pernyataan yang saya sampaikan 14 September lalu itu merupakan peringatan. Saya berharap ada efeknya. Pelakunya bukan hanya satu. Modusnya pun bermacam-macam dan bukan hanya BUMN. Semuanya orang Indonesia, bertemu di Singapura.
Baca: Ketua KPK (2): Soal Kebijakan Ahok di Reklamasi Jakarta
Setelah transaksi, apakah uangnya dibawa ke Indonesia?
Ada yang dibawa pulang, ada yang ditransfer dari sana. Kalau transfer, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa tahu. Tapi, ada juga yang begitu fee diberikan, pelaku membuka rekening di Singapura, kemudian ditransfer lagi ke bank di luar negeri. Kalau bawa dalam bentuk tunai, seharusnya ketahuan. Tapi ada juga yang bisa lolos, kalau pakai jet pribadi.
Bagaimana upaya penangkapan lintas negara seperti itu?
Kami intensifkan kerja sama dengan CPIB, Biro Investigasi Praktek Korupsi Singapura.
Benarkah KPK dan pimpinan Komisi Hukum DPR membahas kasus korupsi BUMN ini sebelum rapat dengar pendapat?
Sama sekali tidak ada. Malah menanyakan kasus Irman Gusman.
Dalam kasus suap Irman Gusman, KPK menerapkan jerat trading influence yang hanya pernah diterapkan dalam kasus kuota impor sapi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq.
Jerat trading influence memang tidak ada dalam undang-undang kita. Tapi, melihat pasal yang dikenakan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur larangan pejabat negara menerima uang. Ke depan, kami akan lebih menekankan soal trading influence dalam perbaikan undang-undang tersebut. (Ketika itu Luthfi menjabat Presiden PKS dan anggota DPR.)
Irman diduga merekomendasikan pengalihan distribusi gula dari Badan Urusan Logistik sehingga tersalur 3.000 ton ke perusahaan Xaveriandy Sutanto (tersangka penyuap Irman)?
Saya tidak akan konfirmasi detail seperti itu. Nantilah kami buka banyak info.
KPK akan memeriksa pejabat Bulog?
Ya, mungkin saja, semua yang terkait mungkin diperiksa. Pasti penyidik melihat hubungan-hubungannya.
Seandainya tidak menerima fee, bolehkah Irman melakukan sesuatu untuk membantu konstituen?
Kalau seperti itu, ya, memang tugas dia. Misalnya suatu daerah yang masih kekurangan air bersih, dia minta tambah. Tapi, begitu dia mengambil keuntungan dari situ, ya, tidak boleh.
Liestyana, istri Irman, mengatakan uang Rp 100 juta dari Xaveriandy merupakan pemberian, bukan suap, sehingga mereka masih punya waktu satu bulan untuk melapor. Apakah jerat pasal yang dikenakan sudah kuat?
Insya Allah, kuat. Tapi saya tidak mau membuka detail kasus.
Kasus Irman mirip Luthfi Hasan Ishaaq dalam kuota impor sapi. Apakah ada yang salah dalam sistem ini?
Bukan hanya kuota. Banyak sistem yang harus dibenahi. Seharusnya kita menggunakan saja jalan yang sudah bagus. Bisa melihat Amerika Serikat, Jerman, atau negara-negara Skandinavia. Tidak usah menciptakan sistem yang baru namun memunculkan pemburu rente di mana-mana. Misalnya, apakah perlu dokter didatangi perwakilan perusahaan farmasi di tempat praktek. Kami mengamati banyak transfer dari farmasi ke rekening dokter.
Dari sebuah perusahaan dengan jumlah total Rp 800 miliar?
Tidak usah bicarakan yang itu dulu, karena masih banyak yang lain. Itu bukan dari perusahaan besar. Satu alasan penggunaan dana adalah meningkatkan kualitas dokter lewat kursus dan sebagainya. Padahal anggaran negara kita 20 persen untuk pendidikan. Kalau alokasinya kita cermati, jangan-jangan tidak perlu lagi subsidi perusahaan farmasi. Ada juga dokter yang memiliki kontrak dengan perusahaan tertentu. Maka, di Indonesia, obat menempati porsi 40 persen dari biaya kesehatan. Sedangkan di Jepang hanya 19 persen dan Jerman 15 persen.
Praktek seperti itu tergolong gratifikasi?
Kalau dokter pegawai negeri sipil, ya, gratifikasi. Tapi kami tidak bisa menindak dokter yang bukan PNS.
Kenapa korupsi seperti tidak berhenti?
Saya melihat akan lebih banyak. Dulu, desa tidak punya uang, sekarang satu desa pasti punya lebih dari Rp 1 miliar, karena ada dana dari pusat, daerah tingkat satu, dan tingkat dua. Apakah mereka punya kapasitas untuk mengelola dana itu dengan baik? Tiba-tiba ada gerojokan begitu. Nanti pasti bermunculan kasus korupsi di mana-mana karena kita punya puluhan ribu desa. Seharusnya, misalnya, luncurkan proyek percontohan dulu di beberapa desa terpencil. Maka, saya edarkan saja surat KPK. Ditempel di setiap balai desa, supaya orang tau KPK ikut mengawasi. Pokoknya ada gambar KPK dululah.
Baca: Ketua KPK(1): Mencegah Korupsi Tak Bisa Lagi Pakai Cara Lama
Apakah vonis untuk koruptor selama ini kurang membawa efek jera?
Karena kita juga tidak melakukan hukuman secara sosial. Banyak koruptor, apalagi yang tidak terkena tindak pidana pencucian uang, masih kaya sekali. Orang bertemu dia juga masih hormat.
Soal terpidana percobaan boleh ikut pemilihan kepala daerah, apakah itu tidak bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi?
Sebaiknya jangan. Pengalaman menunjukkan sudah ada 19 gubernur, 50 lebih bupati dan wali kota, dan sekian ratus anggota DPR dan DPRD (terjerat kasus korupsi). Jadi, sudahlah, orang yang integritasnya baik saja yang masuk sistem pemilihan anggota dewan, apalagi kepala daerah.
TIM TEMPO
Dimas Kanjeng Tersangka
Ini Salawat Fulus, Klaim Ajaran Dimas Kanjeng Gandakan Uang
Soal Dimas Kanjeng, Polda: Uang Diganda, Nomor Seri Bagaimana