TEMPO.CO, Jakarta - Aksi debitur yang cenderung melakukan pelunasan utang (refinancing) ketimbang mengajukan kredit baru menjadi salah satu faktor perlambatan pertumbuhan kredit perbankan.
Hal itu pun membuat tidak banyak aliran dana baru dalam pertumbuhan kredit sampai menjelang akhir kuartal III/2016.
Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengatakan pertumbuhan kredit secara year on year (y-oy) pada September 2016 masih flat seperti Agustus 2016.
Tren perlambatan kredit itu diakui bukan hanya disebabkan oleh aksi bersih-bersih rasio kredit bermasalah dan non-peforming loan (NPL) bank.
“Kebanyakan disebabkan oleh aksi debitur yang melunasi kreditnya, tetapi tidak ada pengajuan kredit baru, sehingga dari segi outstanding mencatatkan perlambatan,” ujarnya setelah acara Annual Report Award 2016 pada Selasa (27 September 2016).
Nelson menekankan dari segi pertumbuhan kredit secara keseluruhan melambat, tetapi dari se gi pertumbuhan kredit rupiah masih dua digit. Perlambatan pertumbuhan terjadi karena kredit valas yang terus menurun.
“Kan situasinya ekspor dan impor Indonesia turun, jadi pengaruh juga ke aktivitas produksi dan permintaan kredit, terutama kredit valas,” ucapnya.
Sebelumnya, Erwin Riyanto, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), menyebutkan pertumbuhan kredit perbankan secara industri berada pada kisaran 6% dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.
Di sisi lain, Batara Sianturi, Direktur Utama Citibank Indonesia, mengakui tren permintaan kredit memang masih lesu seiring sektor riil yang belum terlalu bergairah. Dengan situasi sektor riil itu, tren beberapa debitur justru melakukan aksi refinancing kredit lamanya dengan yang baru.
“Alasannya, penurunan bunga kredit menjadi salah satunya, jadi mereka bernegosiasi untuk me-refinancing dengan suku bunga baru dan tenor lebih panjang,” ujarnya.
Batara pun menyebutkan ke depan perlu dipantau perkembangan dari kebijakan amnesti pajak. Apalagi, periode pertama sudah hampir selesai.
“Nantinya, kalau hasil repatriasi dari amnesti pajak bisa mendorong aktivitas korporasi dan sektor riil. Berarti, ada potensi permintaan kredit baru juga datang ke perbankan,” sebutnya.
Parwati Surjaudaja, Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk., pun mengakui secara y-t-d per mintaan kredit memang cenderung melambat sampai saat ini.
“Nah, harapannya dengan perkembangan amnesti bisa mendorong roda usaha dalam negeri. Meskipun, secara ekonomi global memang masih belum begitu baik,” ujarnya.
Irfanto Oeij, Direktur Utama PT Bank Mayora, menuturkan pertambahan kredit baru pada semester I/2016 sampai semester II/2016 yang masih berjalan belum terlalu bagus. Kalau melihat pertumbuhan secara y-o-y memang masih tampak tidak terlalu buruk, tetapi kalau melihat y-t-d tampak jelas perlambatannya.
“Di lain sisi, rasio kredit bermasalah masih membayangi perbankan sampai saat ini. Hal itu seperti menjadi ancaman bagi bank untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya,” tuturnya.
EKONOMI MASIH LAMBAT
Irfanto pun menambahkan dari sisi debitur pun tampaknya banyak yang tengah mengalami kesulitan. Pada awalnya, beberapa debitur yang dinilai sehat bisa menjadi tertatih-tatih karena roda perekonomian secara makro masih melambat.
“Akhirnya, dengan kondisi bisnis para debitur yang turun membuat kemampuan membayar bunga kredit juga ikut turun kan,” tambahnya.
Irfanto sebagai direktur utama salah satu bank umum kegiatan usaha (BUKU) II itu pun merasa pertumbuhan kredit bank di Indonesia saat ini mayoritas digerakkan oleh proyek infrastruktur, sedangkan kelompok bank BUKU I dan II yang sulit masuk ke sektor infrastruktur akhirnya sulit mendapatkan kredit baru karena sektor lain tengah lesu.
“Intinya, akses untuk menyalurkan kredit cukup melambat saat ini,” ujarnya.
Menurut data OJK, sampai Juli 2016, pertumbuhan kredit secara y-t-d hanya naik 1,79% menjadi Rp4.130 triliun.
Secara rinci, kredit rupiah tumbuh 3,38% menjadi Rp3.538 triliun dibandingkan dengan akhir tahun lalu, sedangkan kredit valas turun 6,77% dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
Sementara itu, penerbitan obligasi korporasi yang bisa disebut menjadi alternatif pembiayaan per usahaan justru mencatatkan kenaikan secara y-o-y sepanjang tahun ini.
Dari data OJK, penawaran umum obligasi sampai pekan ketiga Agustus dari segi nilai emisi tumbuh 32,35% menjadi Rp62,02 triliun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu, sedangkan dari jumlah penerbit melonjak 35,48% menjadi 42 korporasi dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.