TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diharapkan segera menggelar lelang frekuensi 2.100Mhz dan 2.300Mhz agar operator telekomunikasi dapat segera mengatasi masalah keterbatasan spektrum.
Vice President Technology & System Telkomsel Ivan C. Permana mengungkapkan penambahan spektrum menjadi solusi untuk mengatasi kepadatan pelanggan di wilayah padat seperti Jakarta. Pasalnya, jika melakukan penambahan BTS, justru akan terjadi investasi yang tidak efisien.
Baca: AT&T Setuju Beli Time Warner Rp 1.107 Triliun, Valuasinya Kalah dengan Go-Jek
“Secara operator, dengan matriks jumlah subscriber, kami paling padat per Mhz. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia. Maka, penambahan spektrum baik untuk keperluan 3G dan 4G karena tanpa penambahan spektrum akan terjadi inefficiency investment. Jika tadinya kami bisa membangun LTE hingga pelosok kabupaten akan delay, karena harus menambah investasi di dalam kota agar lebih rapat,” paparnya, Jumat (21 Oktober 2016).
Ivan menjelaskan masalah ini akan dapat teratasi jika pemerintah memberikan spektrum tambahan. Lebih lanjut, dia menjelaskan saat ini terdapat spektrum 2.100Mhz sepanjang 10Mhz dan 2.300Mhz sepanjang 30Mhz yang siap dilelang.
Jika dari sisi operator akan diuntungkan karena masalah layanan pelanggan dan kepadatan jaringan dapat teratasi, dari sisi pemerintah pun akan mendapatkan keuntungan. Pasalnya, jika spektrum segera dilelang maka pemerintah dapat segera mendapatkan uang pemasukkan dan negara diuntungkan.
“Jika dilihat secara lisensi, 2.100Mhz itu bernilai Rp500miliar per 10Mhz. Jika dilelang tahun depan, maka pemerintah kehilangan potensi pemasukan karena spektrum masih kosong. Jika lelang delay, negara akan kehilangan potensi pemasukkan per tahunnya,” paparnya.
Perhitungan ini pun berlaku untuk lisensi 2.300Mhz. Jika dilihat, spektrum 2.300Mhz memiliki nilai yang sama yakni Rp500miliar per 30Mhz.
Ivan menjelaskan masalah kepadatan memang bisa diatasi dengan penambahan BTS. Namun, untuk di wilayah padat hal ini sulit dilakukan karena tidak ada lagi lokasi. Di samping itu, akan lebih baik menambahkan BTS di wilayah yang belum terdapat layanan dibandingkan menambah di wilayah padat.
Ivan lebih lanjut menjelaskan, masalah kepadatan spektrum ini pun tidak bisa diatasi dengan rencana network sharing.
“Secara umum tidak bisa. Bukan hanya untuk Telkomsel tetapi untuk semua operator. Karena network sharing bisa dilakukan di tempat yang spektrumnya masih mungkin. Jadi, wilayah untuk Jakarta yang sudah tidak bisa, kapasitas BTS sudah maksimal. Solusi spektrum tambahan yang dibutuhkan,” tambahnya.
Di samping itu, Ivan mengungkapkan network sharing tidak berguna bagi masyarakat dan percepatan karena hanya memberikan investmen saving dari operator yang belum memenuhi komitmen pembangunan.
Sebelumnya, Terkait lelang frekuensi, operator selular yang menempati frekuensi 2.100Mhz diharapkan melakukan pre-agreed refarming sebelum dilaksanakannya tender spektrum yang sama di blok 11 dan 12.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengungkapkan pihaknya meminta para operator untuk melakukan pre-agreed refarming agar nantinya proses refarming jika dibutuhkan dapat berjalan lebih cepat.
“Tendernya masih menunggu frekuensi yang di sebelahnya. Saya meminta untuk melakukan pre-agreed refarming. Jadi kalau si A menang, refarming nya seperti apa. Sehingga nanti pada saat ditetapkan tidak lagi bicara refarming seperti 2014 lalu,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Rudiantara mengungkapkan walau Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki kewenangan untuk meminta operator migrasi seperti yang terdapat dalam modern licensing, tetapi pihaknya tidak ingin melalukan pendekatan kekuasaan seperti itu.
“Walaupun Kominfo punya kewenangan karena di semua modern licensing kalau diminta pindah harus pindah, tetapi sebaiknya pendekatannya tidak seperti. Tidak pendekatan kekuasaan,” paparnya.
Seperti yang diketahui sebelumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2015 terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mengharuskan seleksi kepemilikan sisa frekuensi 2.100Mhz dan 2.300Mhz menggunakan skema lelang.
Anggota Komite Bidang Hukum Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna mengungkapkan dalam peraturan tersebut tertulis bahwa seleksi harus menghasilkan dua komponen biaya. Pertama, biaya izin awal yang nilainya mencapai dua kali penawaran tertinggi lelang. Kedua, Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi tahunan.
“Berangkat dari dua komponen biaya tersebut, maka skema seleksi harus melalui lelang tak bisa lagi melalui beauty contest. Harga dasar lelang akan ditetapkan oleh pemerintah. DI samping itu, kami akan membuat mekanisme sehingga harga akhir tidak akan menjadi sangat mahal,” ujarnya.
Prihadi mengungkapkan harga menjadi komponen utama dari penentuan pemenang, tetapi akan ada komponen lain yang dimasukkan dan harus dilakukan oleh pemenang lelang. Salah satu contoh adalah syarat membangun infrastruktur yang bisa mencakup wilayah dengan jumlah kabupaten tertentu.
Namun, hingga saat ini peserta tender dan kelengkapan persiapan lelang masih dalam studi dan belum finalisasi. Pasalnya, menurut Prihadi masih banyak kajian yang harus dilakukan terkait manfaat yang diterima, baik untuk pemerintah, masyarakat dan pemenang tender.
Terkait pemanfaatan frekuensi, dalam kesempatan yang berbeda, Rudiantara mengungkapkan di masa depan tidak akan pembatasan frekuensi untuk teknologi tertentu. Dengan adanya open technology dan open services, frekuensi bisa digunakan berbagai teknologi.
“Oleh karenanya kita kenal carrier aggregation. Mau berapa frekuensinya, sekalipun dengan 2,3Ghz yang eksosistemnya sangat bagus untuk 4G LTE,” tutupnya.