TEMPO.CO, Jakarta - Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, yang bekerja sama dengan Dwibhumi menggelar Festival ‘Sangasari’ di Museum Volkenkunde, Leiden, selama dua hari, yakni Sabtu-Ahad, 22-23 Oktober lalu. Festival Budaya Bali ini telah mengundang banyak pengunjung dari masyarakat Belanda, khususnya pada tarian khas Bali.
Sesuai namanya, Festival Sangasari ini menampilkan sembilan gaya tari Bali. Tarian tersebut belum lama ini telah masuk ke dalam inskripsi The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization ( UNESCO) sebagai warisan dunia kebudayaan tak benda atau intangible cultural world heritage. Melalui program Rumah Budaya Indonesia di Belanda, yang didukung oleh Sanggar Tari Ayu Bulan, festival ini dipimpin oleh seorang maestro tari Bali, Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik.
Bulantrisna dibantu oleh beberapa penari profesional dari Bali, di antaranya Ni Ketut Putri Minangsari, Putu Evie Suyadnyani, dan Ida Bagus Gede Surya Peradantha. Selama penyelenggaraan festival, ia tidak hanya tampil dengan sejumlah tarian Bali, namun juga memberikan ceramah, presentasi dan diskusi, serta workshop tari.
Perwakilan Manajemen Museum Volkenkunde, Anne Marie Woerle menyampaikan penghargaan atas inisiatif penyelenggaraan festival yang memperkaya khasanah seni-budaya yang disajikan di Museum Volkenkunde. Museum itu menjadi salah satu museum di Belanda yang memiliki cukup banyak koleksi tentang Indonesia.
“Di museum ini pula setiap hari minggu pagi dilakukan latihan gamelan Bali oleh masyarakat Belanda, dan menjadi daya tarik yang khas bagi pengunjung museum,” kata dia dala sambutannya pada Sabtu, 22 Oktober 2016.
Sementara itu, Duta Besar RI Den Haag, I Gusti Agung Wesaka Puja turut menyampaikan kegembiraannya melihat antusiasme masyarakat Belanda yang bergabung dalam berbagai kegiatan festival "Sangasari". Sebagai duta besar yang berasal dari Bali, ia mengaku turut merasakan bahwa tari Bali merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupannya.
“Meskipun ketika masih kecil dulu saya merasa terpaksa atau seperti mendapat hukuman dengan disuruh berlatih menari oleh kakek saya, namun kini saya merasa beruntung dapat mengapresiasi nilai-nilai seni yang luar biasa,” ujar Puja.
Festival itu dibuka dengan Gamelan Baleganjur oleh Banjar Suka-Duka, salah satu kelompok seni budaya Bali yang cukup aktif di Belanda. Gamelan Baleganjur yang dahulunya berfungsi sebagai pengiring upacara atau pawai adat dan acara keagamaan, kini memiliki fungsi yang lebih umum. Pada pembukaan festival, kegiatan pawai keliling aula pun menjadi lebih meriah ketika diikuti oleh seluruh pengunjung festival.
Pengunjung juga disuguhkan serangkaian workshop, baik berupa latihan tari, maupun berbagai bentuk kerajinan tangan khas Bali, dan pemutaran film dokumenter. Pengunjung yang semula hanya tertarik untuk menghadiri festival untuk menyaksikan pertunjukan tari Bali, namun perlahan turut memadati berbagai workhshop yang tersedia. “Para pengunjung pun sebagian besar kembali hadir pada hari kedua untuk mengikuti beberapa workshop lain," tutur Arjanti, perwakilan dari Dwibhumi.
Festival diakhiri dengan penampilan serangkaian tarian Bali, yaitu Sangasari, yang merupakan kompilasi 9 macam tarian. Tarian tersebut di antaranya, Tari Topeng Tua, Puspa Mekar karya Guruh Soekarnoputra, Jauk Keras, Legong Kupu-kupu Tarum, dan Topeng Sitayana. Sebagian tarian diiringi gamelan yang dimainkan oleh Sekar Alit, pimpinan Henry Nagelberg.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Den Haag, Bambang Hari Wibisono mengatakan pada kegiatan serupa nantinya harus melibatkan siswa sekolah di Belanda. Pasalnya, selain sebagai promosi kebudayaan Indonesia, festival tersebut juga memiliki makna edukatif. “Agar generasi muda Belanda pun mengenal lebih baik dan mencintai seni-budaya Indonesia," ujar Bambang.
LARISSA HUDA