TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) mengembangkan 21 program pemberdayaan perempuan di berbagai daerah. Program-program tersebut seluruhnya berujung pada upaya penguatan ekonomi rumah tangga. Rumah tangga yang kuat secara ekonomi diharapkan dapat menjaga daya beli dan menopang stabilisasi harga.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menuturkan, seluruh PSBI bisa dikaitkan dengan mandat utama bank sentral untuk menjaga nilai tukar rupiah dan stabilisasi harga barang. “Dalam sistem ekonomi ada komponen pemerintah, swasta, dan bank sentral. BI sebagai otoritas moneter kebijakannya berpengaruh terhadap ekonomi dan rumah tangga,” kata dia, dalam perbincangan dengan wartawan humaniora, Senin, 24 Oktober 2016 lalu.
Menurut Mirza, harga barang yang paling banyak mempengaruhi kurs rupiah adalah harga pangan. Alasannya, di Indonesia, sebagian besar pengeluaran rumah tangga digunakan untuk membeli bahan pangan. “Karena itu, BI masuk ke dalam kegiatan sosial yang terkait dengan stabilisasi harga pangan,” tuturnya.
Dia menuturkan, upaya peningkatan produksi pangan dilakukan BI dari skala besar seperti pengembangan cluster padi, bawang, atau cabai di tingkat petani. Sementara di tingkat rumah tangga, BI menggerakkan produksi pangan melalui kegiatan urban farming (pertanian kota) yang dimotori oleh kaum ibu.
Sejak Juni 2015, BI bekerja sama dengan Trubus Swadaya dan Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menggulirkan program urban farming di lima wilayah DKI Jakarta. Dari lima wilayah tersebut, masing-masing dipilih tiga kelurahan. Ibu-ibu PKK di tiga kelurahan tersebut diberi pelatihan seputar pengelolaan lahan terbatas menjadi kebun sayur berkualitas.
BI menyediakan 5 ribu polybag cabai dan sayuran berupa pakcoy, caisim, kangkung, bayam, dan selada untuk dibagikan ke wilayah yang ditentutkan. Hasilnya menggembirakan. Satu kelompok urban farming di Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan berhasil memperoleh pemasukan dari penjualan hasil panen sebesar Rp 400 ribu per pekan, di luar hasil panen yang dikonsumsi sendiri.
Dalam program pembinaan usaha mikro bagi perempuan, ucap Mirza, BI bekerja sama dengan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB). Bersama YCAB, BI menggulirkan berbagai kegiatan seperti edukasi literasi keuangan, pelatihan model bisnis dan alur kerja, pembibitan tanaman pangan, pengolahan sampah lingkungan, dan pembuatan kompos.
BI juga merancang program youthpreneur (wirausahawan muda) kepada 2.000 orang remaja putri di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dalam program ini para remaja putri diberi wawasan kewirausahaan, insentif untuk melakukan simulasi usaha, dan bantuan untuk memulai kegiatan wirausaha.
“Kami ingin membentuk remaja putri berwawasan wirausaha. Targetnya adalah pelajar SMK (sekolah menengah kejuruan). Karena banyak pengangguran dari SMK,” Mirza berucap.
Sri Wahyuni, 40 tahun, salah seorang penerima manfaat program pembinaan usaha mikro bagi perempuan mengaku sangat terbantu dengan adanya PSBI. Sebelum BI hadir, Sri sudah bernaung di bawah koperasi yang dikelola YCAB selama lima tahun terakhir. Melalui YCAB, Sri memperoleh kredit usaha mikro sebesar Rp 1- Rp 5 juta per pekan guna membiayai usaha kue dan puding yang dikelolanya.
Setelah PSBI menggandeng YCAB, orang tua tunggal dengan dua anak di Petojo Selatan, Jakarta Pusat ini memperoleh pelatihan literasi keuangan dan teknik pengolahan sampah organik seperti kulit buah menjadi pupuk cair. Berkat bantuan YCAB dan PSBI di tahun 2015, kini Sri sudah bisa meningkatkan omzet dagangannya dari Rp 30-40 ribu per hari menjadi Rp 100 ribu per hari.
“Setelah pelatihan BI, sekarang saya sudah bisa menata keuangan. Mau belanja juga sudah tercatat, tidak seperti dulu sesukanya saja,” kata dia. Lilis Masadah, 33 tahun, juga merasakan manfaat serupa. Orang tua tunggal dengan dua anak ini bisa menaikkan omzet penjualan kue dan kateringnya dari Rp 100 ribu menjadi Rp 500 ribu per hari.
EFRI RITONGA