TEMPO.CO, Baghdad - Parlemen Irak mengesahkan larangan penjualan, impor dan pembuatan alkohol, Jumat, 21 Oktober 2016. Langkah itu memicu perlawanan dari kaum oposisi yang menganggap larangan itu membatasi kebebasan kaum minoritas di negara itu, termasuk kelompok Kristen.
Beberapa anggota parlemen yang mendukung berpendapat bahwa beleid itu dibenarkan konstitusi karena sesuai dengan ajaran Islam.
"Langkah itu dibenarkan karena konstitusi menetapkan bahwa tidak ada hukum yang bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Islam," kata Ammar Toma, anggota parlemen pro-undang-undang itu.
Aturan baru itu melarang impor, produksi dan penjualan semua jenis alkohol. Mereka yang melanggar peraturan itu akan dikenakan denda antara 10 juta hingga 25 juta dinar (Rp 111,6 juta - Rp 279 juta).
Adapun kalangan oposisi menolak larangan tersebut dengan alasan bahwa konstitusi menjamin tradisi agama minoritas.
Yonadam Kanna, anggota parlemen senior dari kelompok minoritas Kristen, mengatakan UU tersebut melanggar jaminan konstitusional kebebasan beragama bagi kelompok minoritas seperti Kristen. Kanna menyatakan akan menggugat undang-undang baru itu di pengadilan.
"Undang-undang yang disetujui hari ini tidak sesuai dengan konstitusi kebebasan beragama, kami akan menggugatnya," kata Kanna.
Kanna mengkhawatirkan undang-undang itu akan meningkatkan pengguna narkoba serta angka pengangguran di negara yang sejak lama dilanda perang tersebut.
Meskipun alkohol tidak disajikan di restoran dan hotel di negara yang didominasi Syiah tersebut, namun sebagian warga mengkonsumsinya.
Minuman keras dijual di toko-toko kecil di Irak terutama di Baghdad. Selain itu, beberapa pengusaha lokal juga memproduksi minuman beralkohol, termasuk bir bermerek "Farida" dan arak bermerek "Asriya".
IRAQI NEWS | INDEPENDENT | IB TIMES | YON DEMA