TEMPO.CO, Manila -Sebanyak 1.934 warga keturunan Indonesia di Mindanao, Filipina telah mendapatkan statusnya sebagai warga Negara Indonesia (WNI). Mereka bertahun-tahun tinggal di Mindanao dan umumnya sebagai pelintas tradisional yang mayoritas berasal dari pulau Marore, Miangas, Kepulauan Sangihe dan Talaud. Mereka hidup tanpa memiliki dokumen kewarganegaraan Indonesia.
Menurut Pelaksana fungsi keimigrasian dan kewarganegaraan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Davao City, Agus Majid, mereka bahkan ada yang datang ke Mindanao awal tahun 1874 atau sebelum Indonesia dan Filipina berdiri sebagai negara.
Umumnya mereka tinggal secara menyebar dan kebanyakan tinggal di pelosok pesisir pantai. Mata pencarian sebagian besar mereka sebagai pelaut atau nelayan.
Selain di Mindanao, mereka juga banyak berdiam di Pulau Balut dan Sarangani.
"Mereka kemudian memilih tinggal dan menetap di Mindanao (tanpa dokumen) dan sebagian berkeluarga sehingga membentuk komunitas yang dikenal sebagai Sanger-Philippines (SAPI) atau oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Persons of Indonesian Descent (PIDs)," kata Agus menjelaskan kepada Tempo melalui surat elektroniknya, Rabu, 26 Oktober 2016.
Baca:
1.934 Warga Keturunan di Mindanao, Filipina Resmi Jadi WNI
Kisah 26 Orang Disandera Perompak Somalia Selama 4 Tahun
AS Tolak Pembebasan Hambali, Dalang Bom Bali
Pemerintah Filipina mengizinkan mereka untuk tetap tinggal namun statusnya masih sebagai illegal alien. Belakangan status illegal alien menjadi dilema, ketika Pemerintah Indonesia tidak memiliki data tentang mereka, namu mereka mengaku sebagai WNI.
Jika berdasarkan UU Nomor 12 2006 tentang kewarganegaraan, mereka sudah kehilangan status sebagai WNI. "Namun hal tersebut akan menyebabkan mereka menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless) sehingga KJRI Davao City menginisiasi program registrasi dan penentuan status sejak tahun 2011 lalu hingga saat ini," ujar Agus.
KJRI Davao City kemudian bekerjasama dengan pemerintah Filipina, dan Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) melakukan tahapan penegasan status sebagai WNI, sehingga ke depan mereka menjadi WNI yang sah.
"Kami awali dengan proses mapping (guna memetakan masalah serta populasi para PIDs). Kami kemudian mengundang wakil dari pemerintah daerah, peneliti, akademisi, NGO serta pihak terkait lainnya guna melakukan FGD terkait permasalahan ini. Dari hasil mapping dan FGD, kami kemudian melakukan pilot project registrasi dan kami susun aplikasi yang komprehensif guna mendata para PIDs," kata Agus.
Kegiatan Registrasi dimulai tahun 2014 dan berakhir Maret tahun 2016 dengan melakukan misi ke pelosok-pelosok Mindanao untuk menemui mereka secara langsung. Hasil registrasi kemudian dikaji dan dirapatkan dalam pertemuan Bilateral antara pemerintah Indonesia dan Filipina. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dari pertemuan dua negara itu kemudian muncullah Misi Solusi atau Penegasan Status yang dimulai pada Maret hingga Oktober 2016.
Bukan tanpa masalah melakukan hal ini, menurut Agus, para PIDs berasal dari golongan masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki pekerjaan tetap mengingat status mereka ilegal. Sehingga mereka tidak dapat membayar bea PNBP untuk proses pengeluaran dokumen baik paspor maupun untuk Certificate of Indigency dari Municipal Social Welfare and Development Office.
Adapun untuk proses pemutihan denda serta proses Pengurusan Izin Tinggal Keimigrasian di Filipina, kata Agus, KJRI Davao City telah melakukan serangkaian koordinasi dengan Department Kehakiman serta Biro Imigrasi Filipina.
"Saat ini telah disusun draf memorandum yang akan menghapuskan seluruh denda imigrasi serta aturan mengenai jenis izin tinggal khusus bagi para PIDs yang telah mengikuti proses registrasi serta misi penegasan status tersebut," Agus menjelaskan.
Untuk tindak lanjut lainnya, menurut Agus, KJRI Davao City akan berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, baik di Indonesia maupun Filipina sehingga dapat diberikan solusi final dan permanen bagi seluruh warga keturunan Indonesia di Mindanao.
MARIA RITA