INFO PEPARNAS - Kata “tua” seolah tak pernah ada dalam kamus Eman. Di usia emasnya, Eman baru saja menyabet emas bersama rekan-rekan satu timnya pada cabang olahraga voli duduk Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas)/2016 Jawa Barat.
Ini adalah medali ke-49 yang berhasil diraih Eman sepanjang hidupnya. Lelaki asal Garut ini sudah empat kali menjadi wakil Jawa Barat dalam Peparnas, yakni pada 2004, 2008, 2012, dan tahun ini. Tak hanya voli duduk, dia pun menjajal berbagai cabang olahraga lain, seperti tenis meja, bulu tangkis, catur, atletik, angkat berat, renang, dan panjat tebing. Eman pun sempat mewakili Indonesia dalam ASEAN Paragames.
Baca Juga:
Saking seringnya mendapatkan medali, itu menjadi hal biasa bagi Eman. Tapi tidak demikian halnya dengan raihan medali emas kali ini.
“Usia saya sudah 50 tahun. Ini pembuktian, di usia yang tidak muda lagi, saya bisa tetap berprestasi,” katanya.
Rasa syukur karena menang di final voli duduk Peparnas XV diwujudkan Eman dan rekan-rekan satu timnya dengan aksi botak massal. Namun, karena kepala Eman sudah plontos, dia pun rela kumisnya dicukur habis. Padahal kumis itu sudah dia pelihara sejak lama dan menjadi ciri khasnya selama ini. Tak hanya itu, dia pun meminta agar sisa rambut tipis di kepalanya ikut dicukur.
Baca Juga:
“Ini baru pertama kali kumis saya dipotong. Rasanya aneh karena saya sejak 1997 belum pernah potong kumis. Habis ini kumisnya mau dipanjangkan lagi,” kata Eman.
Atlet yang juga tak muda lagi di ajang Peparnas XV adalah Ashari. Dia bahkan tercatat sebagai yang tertua di ajang ini. Ashari adalah atlet tenis kursi roda yang tahun ini menginjak usia ke-62.
Di Peparnas XV, Ashari mewakili kontingen Papua. Olahraga bagi Ashari bukan semata-mata menjadi tempatnya mendulang prestasi, melainkan juga sebagai upayanya menjaga kesehatan.
“Dalam kondisi begini, untuk bisa membuat tubuh terjaga, olahraga ini menjaga badan supaya sehat,” tuturnya.
Ashari pertama kali mengikuti kejuaraan tenis dua puluh satu tahun lalu. “Waktu itu ada perebutan piala Ibu Tien Soeharto di Jakarta. Dulu untuk pemula juara pertama, beregu juara dua,” katanya.
Kala itu, Ashari masih mewakili Surabaya. Dua tahun kemudian, Ashari pindah ke Papua dan membina atlet di sana. Ashari beralasan, tidak ada kepastian terhadap jaminan kesejahteraan terhadap atlet di Surabaya kala itu. Sementara, di saat yang sama, atlet-atlet berkebutuhan khusus di Papua juga membutuhkan pelatih.
“Kalau tidak dilatih, difabel Papua akan semakin tertinggal,” ujarnya.
Di Papua, Ashari tak hanya menjadi pembina cabang olahraga tenis kursi roda. Dia juga membina cabang olahraga angkat berat, renang, dan atletik, untuk tunarungu, tuna wicara, dan tuna daksa. Dia pun aktif memperjuangkan hak-hak kaum difabel.
Peparnas tahun ini adalah turnamen terakhirnya. Ashari berharap, kaum difabel dapat terus menyalurkan keahlian, serta menunjukkan potensi dan prestasi mereka. (*)