TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan tarif administrasi surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) terus menjadi buah bibir masyarakat.
Menurut juru bicara Kepolisian RI, Boy Rafli Amar, Jumat, 6 Januari 2017, penerimaan dari biaya-biaya tersebut akan digunakan untuk meningkatkan material pembuatan STNK dan BPKB yang dapat menunjang program e-Samsat, e-Tilang, serta SIM dan BPKB online.
Selain itu, menurut Boy, hal tersebut untuk memperbaiki kualitas layanan, keamanan berkendara, serta pengembangan sistem teknologi dan informasi. “Khususnya pembenahan layanan publik yang selama ini dianggap tidak transparan dan akuntabel,” katanya.
Polri menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meningkat Rp 2,03 triliun setelah pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2017 tentang Jenis dan Tarif PNBP Kepolisian. “Realisasi sebelum peraturan ini terbit sebesar Rp 5,37 triliun. Setelah terbit, naik menjadi Rp 7,40 triliun,” ucap Boy.
Kenaikan tarif administrasi STNK dan BPKB terus mendapatkan reaksi dari masyarakat, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yenny Sucipto menuturkan kenaikan tarif BNPB kendaraan hingga tiga kali lipat memberatkan masyarakat. Apalagi BPK mencatat kekurangan penerimaan negara pada 2015 mencapai Rp 270 miliar, seperti dari pengelolaan dana Samsat yang tak transparan.
"Ada kenaikan 100-150 persen. Tentu ini akan memberatkan masyarakat, terutama kami, pengguna kendaraan," tutur warga Makassar, Usman.
Badan eksekutif mahasiswa (BEM) se-Indonesia wilayah Sumatera bagian selatan dan utara pun menolak dengan tegas keputusan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), pengurusan STNK dan BPKB, serta biaya lain. Ilham Novriadi, Menteri Komunikasi dan Informasi BEM KM Universitas Sriwijaya, mengatakan kebijakan tersebut tidak prorakyat di tengah perekonomian yang masih lesu.
PUTRI ADITYOWATI | S. DIAN ANDRYANTO
Simak:
Penyerangan Kantor Balai Kota Makassar Siap Disidangkan
Video Detik-detik Bupati Katingan Diduga Selingkuh di Kamar