TEMPO.CO, Jakarta - Majalah Tempo menurunkan tulisan investigasi perbudakan yang dialami anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal-kapal ikan Taiwan. Tulisan ini adalah hasil kolaborasi bersama The Reporter, media independen asal Taiwan.
Kerjasama ini diawali dari kedatangan dua wartawan The Reporter pada akhir Oktober lalu. Mereka adalah reporter I Ting Chiang dan fotografer Yu En Lin. Keduanya membawa segepok dokumen tentang kematian pelaut asal Tegal, Jawa Tengah, bernama Supriyanto. Dokumen itu menyebutkan Supriyanto ditengarai dianiaya oleh kapten sebelum tewas.
Baca: Investigasi ABK Indonesia yang Menjadi Budak di Kapal Taiwan
Kematian Supriyanto sebenarnya sudah diberitakan tahun lalu. Kejaksaan Kota Pingtung di Taiwan menyelidiki kasus ini setelah kapal merapat di pelabuhan kota itu pada 11 September 2015. Tapi kasus ini ditutup karena Kejaksaan menyatakan tak menemukan bukti penganiayaan. Autopsi yang mereka lakukan menunjukkan Supriyanto meninggal karena sakit.
I Ting dan Yu En datang ke Indonesia untuk menelusuri latar belakang Supriyanto. Selama berbulan-bulan sebelumnya, tim The Reporter keluar-masuk sejumlah pelabuhan di Taiwan dan mewawancarai pelaut asing, termasuk Indonesia.
Kami lalu sepakat berkolaborasi menyingkap perdagangan manusia dan perbudakan di kapal Taiwan. Ada sekitar 8.000 pelaut Indonesia yang resmi bekerja di negeri itu. Sisanya, yang berangkat secara ilegal, tak teraba. Baru belakangan kami memperoleh estimasi dari Kementerian Luar Negeri bahwa jumlahnya di atas 40 ribu.
“Dalam globalisasi, setiap isu saling terkait dan melibatkan entitas internasional. Itu sebabnya kami berkolaborasi dengan Tempo. Kami berbagi harapan bahwa jurnalisme adalah kunci untuk masyarakat yang adil dan setara,” kata Sherry Lee, Direktur Pelaksana Redaksi The Reporter.
Di Indonesia, Tempo mewawancarai pelaut dan mantan pelaut, sponsor atau calo perekrut ABK, dan agen yang tersebar di Jakarta, Tegal, Pemalang, dan Cilacap. Kami juga menemui pembuat buku pelaut palsu dan sertifikat keterampilan pelaut di penjara Polda Metro Jaya.
Dari cerita mereka, tergambar pola bagaimana ABK direkrut, dibekali dokumen palsu, disodori kontrak yang tak adil, dan akhirnya diperlakukan dengan buruk di atas kapal. Cerita tak berakhir di situ. Sebab, setelah turun dari kapal, sejumlah pelaut tak mendapatkan gaji yang dijanjikan.
Untuk mendapatkan gambaran utuh, kami mengirim Mustafa Silalahi, redaktur Desk Investigasi, ke Taiwan. Mustafa bertemu dengan pelaut Indonesia di Taipei, Keelung, dan Kaohsiung. Kota yang disebut terakhir merupakan pelabuhan yang paling banyak ditinggali pelaut Indonesia. Dia juga menemui agen Taiwan yang menjadi penyalur ABK asal Indonesia ke kapal milik orang Taiwan.
Baca cerita selengkapnya di majalah Tempo pekan ini dengan liputan utama berjudul "Budak Indonesia di Kapal Taiwan".
TIM INVESTIGASI TEMPO