TEMPO.CO, Jakarta - Cara orang menikmati musik jazz kini aneh-aneh. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, ada sebuah komunitas yang mengajak publik menikmati musik jazz di tepi pantai, berkemah, mendengarkan musisi bermain menjelang tidur, lalu tidur, dan bangun tidur mendengarkan musik jazz lagi. “Sarapan Jazz: Turu Ngejazz, Tangi Ngejazz”, itulah tema nyleneh acara itu. Bagaimana perhelatan itu berlangsung, berikut reportase wartawan Tempo Shinta Maharani seperti dimuat di Koran Tempo Akhir Pekan, Sabtu, 21 Januari 2017.
Baca juga: Resensi Buku Almanak Musik Indonesia
Berdiri aku di senja senyap/ Camar melayang menepis buih/ Melayah bakau mengurai puncak/Berjulang datang ubur terkembang...
Puisi Berdiri Aku karya Amir Hamzah itu berpadu dengan debur ombak pagi itu. Aroma laut, angin, dan pasir kuning keemasan menyatu bersama denting piano. Musikus muda Leilani Hermiasih atau Frau menyanyikan puisi sastrawan pujangga baru itu dengan asyik.
Pasir membedaki telapak dan menelusup pada jari-jari kaki telanjangnya. “Aku suka menggabungkan pengalaman sensorial ke pengalaman mendengar. Tentang rasa, bereksperimen dengan bau laut, dan suara ombak,” kata Frau, setelah tampil.
Mesin Penenun Hujan, lagu favorit banyak kalangan, menutup penampilan Frau pada Rabu pagi itu. Ia menjadi satu di antara beberapa penampil dalam pertunjukan jazz di pinggir Pantai Watu Kodok, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Selasa-Rabu lalu (17-18 Januari 2017). Disebut Pantai Watu Kodok karena di sana ada bongkahan batu alam yang menyerupai kodok.
Pentas musik garapan komunitas Jazz Mben Senen itu bertajuk “Sarapan Jazz: Turu Ngejazz, Tangi Ngejazz”. Dinamai Sarapan Jazz karena konsepnya tidak lazim. Musik jazz dimainkan ketika orang mau tidur pada malam hari dan saat bangun esok harinya.
Seluruh penonton dan panitia berkemah di pinggir pantai menggunakan tenda. Ada pula yang tidur di warung-warung makanan. Pentas musik ini merupakan bagian dari perayaan ulang tahun ke-7 Jazz Mben Senen, yang dibentuk oleh kalangan muda. Mereka dikenal sebagai komunitas jazz yang tampil menghibur penonton setiap Senin malam di Bentara Budaya Yogyakarta.
Musikus lain yang tampil pada acara itu antara lain I Wayan Balawan, Bonita & The Hus Band, Everyday, Tricotado, dan Muchichoir.
Sarapan Jazz hari pertama digelar pada malam hari. Sepanjang malam, hujan membasahi Pantai Watu Kodok. Penonton mengenakan jas hujan sambil menikmati musik nyaris hingga tengah malam. Panggung jazz bertopang bambu berada 10 meter dari bibir pantai, membelakangi Pantai Watu Kodok. Dekorasinya minimalis, hanya berdinding plastik transparan, pepohonan pandan laut, dan lampu penerangan.
Balawan, yang tampil menutup malam pertama Sarapan Jazz, tampil memukau. Penonton bertahan menikmati permainan nada-nada dari gitar berleher dua atau double neck andalannya. Jemari yang seharusnya memetik senar malah memijit seperti memainkan tuts piano hitam-putih. Lajunya cepat dan berputar ke nada yang hampir seragam.
Ia mengawinkan musik jazz dengan gamelan Bali bersama pemain musik lainnya yang menjadi anggota timnya. Salah satu nomor yang ia bawakan menyentil orang-orang yang merusak keberagaman Indonesia. Nada-nada lagu Indonesia Raya ia mainkan untuk mengingatkan penonton pada situasi Indonesia saat ini. “Indonesia itu kan luas. Dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Beberapa orang lupa sehingga saya mengingatkan,” tutur Balawan.
Balawan juga merasa punya ikatan dengan alam. Musik bagi dia adalah persembahan alam. Suara musik yang berisik dan merdu terpengaruh oleh alam. “Saya suka bermain musik di pantai, hutan, dan gunung.” Karena itu, ia mengapresiasi kerja panitia yang menggelar panggung jazz dengan konsep berkemah tersebut. Namun Balawan memberi masukan kepada panitia agar memikirkan persoalan cuaca.
Hal senada dikatakan Fau. “Lain kali mungkin mesti lebih bersahabat dengan alam agar cuacanya mendukung,” tutur Frau. Adapun Sugiharto, penonton Sarapan Jazz yang rutin menonton banyak pertunjukan musik jazz, memberi masukan agar panitia lebih dispilin dalam hal waktu dan memperbaiki fasilitas acara. Ia sampai jatuh karena lampu penerangan yang minim. “Mestinya lampu penerangannya ditambah supaya orang mudah menjangkaunya,” ujar dia.
Anggota komunitas Jazz Mben Senen, Andreas Krishnamurti, mengatakan panitia telah memikirkan soal hujan. Walhasil, mereka mengumumkan lewat media sosial agar penonton membawa jas hujan. “Kami keluar dari zona nyaman dengan konsep yang baru pertama kali ini. Jadi banyak kekurangan dan akan kami perbaiki.”
Pantai Watu Kodok dipilih sebagai tempat pelaksanaan Sarapan Jazz karena pantai ini dikelola secara mandiri oleh komunitas. Pengelolanya mayoritas merupakan lulusan sekolah dasar. Paguyuban di Pantai Watu Kodok berjuang melawan investor yang hendak menjadikan lahan itu resor untuk wisata.
Komunitas yang dipimpin Heru Sumarno ini pernah menggelar Festival Kathok Abang, menyimbolkan penduduk yang mayoritas lulusan sekolah dasar tapi mampu mengelola pantai itu. Sebagian penjualan tiket didonasikan kepada paguyuban warga Pantai Kodok guna membantu perjuangan mereka yang membangun pantai.
Panitia dan penduduk Watu Kodok secara guyub bahu-membahu mempersiapkan acara jazz itu selama satu bulan. Mereka bekerja bakti menimbun pasir yang dijadikan panggung. Bila suami penduduk Watu Kodok berhalangan, tugas mencangkul digantikan sang istri di tempat yang dijadikan panggung.
Ibu-ibu Watu Kodok pun berjibaku menyiapkan konsumsi untuk seluruh panitia dan peserta acara. Ada ikan trisi bakar, ikan goreng, sayur daun ketela pohon, dan singkong goreng yang diambil dari kebun mereka. “Bergandengan dengan penduduk Watu Kodok, manfaatnya lebih besar ketimbang sekadar bikin acara yang orientasinya hanya profit,” kata Andreas.
Seniman Djaduk Ferianto, yang berbicara dalam talk show di sela pertunjukan, mengatakan Sarapan Jazz punya konsep berbeda dibanding panggung jazz lainnya. “Di acara ini, enggak cuma panitia yang ambil risiko. Penonton juga ambil risiko mau datang,” ujarnya.
Sarapan Jazz pada hari kedua semula hendak digelar ketika matahari terbit. Pada pukul 04.30, juga direncanakan ada permainan musik ansambel. Namun rencana itu gagal akibat hujan deras hingga pukul 08.00. Panggung pun sempat rusak diterpa angin dan hujan. Namun panitia segera bisa mengatasinya.*