TEMPO.CO, Jakarta – Ahli kajian linguistik bahasa Indonesia dari Universitas Mataram, Mahyuni, menilai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sedang menyampaikan pesan agar masyarakat tak perlu menghiraukan jika dibohongi seseorang menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51.
“Dalam konteks itu, Al-Maidah jadi alat kebohongan yang dipakai subyek ke obyek,” kata Mahyuni sebagai saksi dalam persidangan kasus penistaan agama di Aula Gedung Kementerian Pertanian pada Senin, 13 Februari 2017.
Mahyuni mengatakan, pidato Ahok di Kepulauan Seribu adalah satu kontekstual. Kata “dibohongi” yang diucapkan Ahok, jika ditinjau secara parsial berdiri sendiri, bermakna negatif. Dalam hal ini, Mahyuni menegaskan kata "dibohongi" pasti memiliki subyek siapa pembohongnya dan audiens yang dibohongi.
Baca: Sidang Ahok, PN Jakut: Baru Dua Saksi yang Dipastikan Hadir
Namun, dalam konteks keseluruhan pidato Ahok, ayat Al-Maidah digunakan sebagai alat membohongi. Mahyuni juga melihat Ahok berbicara seperti itu saat menjabat gubernur.
”Ketika pilihan kata digunakan, yang bersangkutan sudah meyakini Al-Maidah sebagai alat kebohongan,” tutur Mahyuni.
Menurut Mahyuni, Ahok sengaja membahas Al-Maidah. Setiap orang punya konsep tentang apa yang ingin disampaikan. Namun, menurut dia, seharusnya Ahok tak membicarakan tentang Al-Maidah karena kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sedang berkunjung ke Kepulauan Seribu terkait budi daya ikan. Pernyataan Ahok dianggap keluar dari topik pidato.
Meski demikian, Mahyuni masih melihat ucapan Ahok masih menjadi satu rangkaian utuh. Menurut dia, Ahok sedang bicara dengan audiens bahwa selama ini Al-Maidah digunakan sebagai alat kebohongan.
AVIT HIDAYAT
Baca: Jika Menang Pilkada DKI, Ahok Janji Tak Maju di Pilpres 2019