TEMPO.CO, Kediri - Upacara pengambilan gelar Datuk Tan Malaka di lereng Gunung Wilis, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, berlangsung meriah. Delapan genggam tanah diambil dari pusara Ibrahim Tan Malaka untuk dikebumikan ke tanah kelahiran.
Prosesi adat penjemputan gelar yang dipimpin sejumlah tetua adat di makam Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri berlangsung dengan khidmat. Tak sedikit peserta upacara dari Kabupaten Limapuluh Kota yang menangis saat berdiri di depan pusara Ibrahim Datuk Tan Malaka. “Kami mencari tokoh yang hilang ini sejak tahun 1949,” kata Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan di depan ratusan warga yang menyertainya, Selasa 21 Februari 2017.
Baca juga: Ratusan Warga Minang ke Makam Tan Malaka Gelar Upacara
Setelah menyampaikan kata pengantar, prosesi sakral yang dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Limapuluh Kota Safruddin Datuk Bandaro Rajo dilakukan. Diawali dengan penyampaian sejarah singkat perjalanan hidup Tan Malaka hingga meninggal di Desa Selopanggung, Safruddin menyampaikan syukur atas ditemukannya makam tersebut. Penemuan ini sekaligus melengkapi prosesi penyerahan gelar adat Datuk Tan Malaka kepada Hengky Novaron Arsil, keponakan Ibrahim Tan Malaka dari garis keturunan ibu.
Selesai berdoa di pusara Ibrahim Tan Malaka, penyematan gelar dilakukan Hengky Novaron Arsil dengan melepas pakaian adatnya dan mengganti dengan pakaian raja warna kuning emas. Prosesi yang dinamai Basalin Baju ini merupakan simbol penyematan gelar Datuk Tan Malaka VII kepada Hengky Novaron. “Baju ini tak lekang oleh panas dan hujan,” kata Safruddin yang juga bergelar datuk.
Menurut dia, penyematan gelar raja ini harus dilakukan di makam almarhum Datuk Tan Malaka jika sudah wafat. Penyerahan atau pelimpahan gelar bisa juga dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan secara suka rela jika telah dianggap tak mampu lagi memegang tampuk kepemimpinan. Selama bertahun-tahun pemegang gelar Datuk Tan Malaka di Kabupaten Limapuluh Kota tak melalui proses ini. Penelusan sejarah yang dilakukan Harry A Poeze yang menemukan keberadaan makam Tan Malaka di Desa Selopanggung inilah yang kemudian menjadi dasar melakukan upacara adat di Kediri.
Selanjutnya, para keluarga dan ketua adat bergantian mengambil segenggam tanah kuburan Tan Malaka untuk dimasukkan ke dalam peti beralas kain kafan. Peti tersebut adalah peninggalan Ibrahim Tan Malaka yang disimpan di rumah kediamannya di Pandam Gadang yang hendak direnovasi menjadi museum. “Kami membawa tanah ini sebagai symbol pengambilan jasad yang tak mungkin kami gali,” kata Safruddin.
Dia berharap dengan pengambilan tanah ini akan mengakhiri polemik pemindahan makam Tan Malaka yang sempat terjadi antara Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota dengan Kabupaten Kediri. Apalagi masyarakat Desa Selopanggung juga menyatakan ingin tetap memelihara dan merawat makam tersebut bagian dari leluhur mereka. Safruddin juga berharap Kementerian Sosial bisa memberikan hak-hak kepahlawanan Tan Malaka dan meluruskan sejarah putra Minang tersebut sebagai tokoh atheis atau tidak beragama. “Beliau memang berjuang bersama komunis untuk kemerdekaan bangsa, tetapi dia seorang Muslim yang taat,” tegasnya.
Wakil Bupati Kediri Masykuri juga mengikuti rangkaian prosesi tersebut. Bersama para tetua adat, dia berdoa di depan pusara Tan Malaka dengan tekun. Senada dengan Safruddin, Masykuri juga menyatakan telah mengakhiri polemik soal makam Tan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kementerian Sosial. “Kami bersama masyarakat Kediri mendukung penuh kegiatan ini,” kata Masykuri singkat.
HARI TRI WASONO