TEMPO.CO, Jakarta - Produk tekstil impor ilegal masih marak beredar di dalam negeri. Sekitar 16,7 persen dari produk tekstil yang dikonsumsi sepanjang tahun lalu tidak jelas asal usulnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Indonesia (Apsyfi) Redma Wirawasta memperkirakan volume produk tekstil dan garmen yang beredar secara ilegal sepanjang tahun lalu mencapai 310 ribu ton. Angka tersebut berasal dari selisih volume konsumsi tekstil dengan volume penjumlahan industri domestik dan volume impor yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik.
Baca: Presiden Jokowi: Berantas Praktek Impor Tekstil Ilegal
Redma memperkirakan total konsumsi tekstil Indonesia sepanjang 2016 mencapai 1,86 juta ton. Volume penjualan produsen tekstil domestik tercatat sebanyak 1,4 juta ton, sedangkan volume impor mencapai 151 ribu ton.
“Konsumsi masyarakat lebih besar daripada produksi dan impor. Masyarakat beli barang ini di mana? Ini betul-betul barang yang tidak tercatat,” kata Redma, Selasa, 21 Februari 2017.
Menurut Redma, produk tekstil ilegal tersebut masuk ke pasar domestik lewat impor gelondongan atau bocor dari kawasan berikat. Produk tekstil dan garmen impor masuk bersama beragam produk lain di dalam satu kali pengiriman besar.
Otoritas fiskal biasanya tidak memeriksa secara detail setiap produk yang masuk bersamaan dalam satu kontainer. Sumber lainnya adalah kawasan berikat. Industri di kawasan berikat sebetulnya dapat menjual produk ke pasar domestik dengan persyaratan tertentu. Namun ada produk yang merembes ke pasar domestik secara ilegal agar produsen terhindar dari berbagai kewajiban, seperti pembayaran pajak pertambahan nilai atau bea masuk.
Baca: Produk Tekstil RI Berpotensi Besar di Pasar Jepang
“Kami mengusulkan agar dibuat aturan produk tekstil yang boleh diimpor cuma produk yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Ini untuk menghindari hal tersebut terulang,” kata Redma.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan pemerintah bisa mencegah impor produk yang sudah diproduksi di dalam negeri lewat perubahan pos tarif.
Dia menjelaskan, selama ini ada beberapa produk yang bisa masuk ke Indonesia karena tercatat pada pos tarif yang sama dengan produk lain yang belum bisa diproduksi secara lokal. Pemerintah dapat menetapkan pos tarif yang lebih spesifik untuk mencegah produk tersebut masuk ke pasar Tanah Air sambil memastikan produk yang belum bisa diproduksi produsen lokal bisa masuk tanpa hambatan.