TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi, menilai kerugian PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, bakal lebih besar dibanding kerugian pemerintah Indonesia jika kalah di arbitrase internasional. "Kalau Freeport kalah, resiko yang dialami jauh lebih besar," kata dia di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 25 Februari 2017.
Salah satu alasannya adalah anjloknya saham perusahaan induk Freeport, McMoRan Copper & Gold Inc, di bursa New York dengan kode FCX. Harga saham FCX cenderung melemah selama Februari 2017. Sejak awal Februari hingga penutupan perdagangan 23 Februari 2017, harga saham Freeport anjlok 21,3 persen dari US$ 16,84 per saham pada 1 Februari 2017, menjadi US$ 13,25 per saham pada 23 Februari.
Baca : Pengamat: Peluang Pemerintah Menang Lawan Freeport 70 Persen
Penurunan harga saham disebabkan kisruh Freeport dengan pemerintah Indonesia terkait perubahan izin operasi dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Saham FCX juga anjlok pada Desember 2015 setelah isu skandal "papa minta saham" yang merebak. Saat itu Freeport diduga memperoleh perpanjangan kontrak dengan cara ilegal. Harga saham FCX turun hingga US$ 8,3 per saham pada Desember 2015. Padahal rata-rata saham FCX selama 2014 tercatat senilai US$ 62 per saham.
Baca : Pengamat: Surat Sudirman Said Jadi Kelemahan Hadapi Freeport
Fahmy mengatakan jika Freeport tetap maju ke arbitrase internasional, saham FCX akan terus turun. "Mungkin harga sahamnya akan lebih murah dari kertas tissue," kata dia.
Sementara jika pemerintah kalah, Fahmy mengatakan pemerintah harus mengubah undang-undang seperti yang dituntut Freeport. "Pemerintah harus mengizinkan Freeport untuk ekspor konsentrat tanpa diolah di smelter. Itu saja konsekuensinya," kata dia.
VINDRY FLORENTIN