TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan memutuskan mengatur tarif taksi berbasis online berdasarkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Terhitung mulai 1 April 2017, tarif baru itu akan mengacu pada batas atas dan batas bawah, sehingga tarif taksi beraplikasi online dan konvensional diperkirakan tidak jauh berbeda.
Selama beberapa tahun terakhir, terutama di kota besar, masyarakat lebih memilih layanan taksi online karena menawarkan harga murah. Sofyan, salah seorang sopir taksi online, mengungkapkan penumpang yang dilayani senang karena selisih tarif taksi online dan konvensional mencapai 50 persen. "Sepertinya enggak mungkin disamakan. Kalau pun ya, pasti konsumen tetap mencari yang lebih murah," kata Sofyan di Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017.
Baca: Pemerintah Atur Tarif Taksi Online, Ini Tangapan Uber dan Go-Jek
Selama ini, kekuatan taksi berbasis online, menurut Sofyan, terletak pda gencarnya promosi tarif miring bila dibandingkan dengan taksi konvensional. Apalagi, sejumlah perusahaan menyediakan potongan harga bila ada yang membayar dengan uang virtual, seperti Go-jek dengan Go-Pay dan GrabPay dari Grab. "Konsumen cari promo itu," kata dia.
Taksi berbasis online menawarkan tarif tetap berdasarkan jarak, berbeda dengan dengan argometer di taksi konvensional yang menghitung jarak dan waktu tempuh. Misalnya, jarak 8 kilometer dengan taksi berbasis online dikenakan tarif Rp 30 ribu dan tetap berlaku walaupun jalan macet.
Baca Juga: Pemerintah Atur Taksi Online Agar Tak Seenaknya Naikkan Tarif
Sebaliknya, tarif taksi konvensional untuk jarak itu akan bervariasi bergantung pada waktu tempuh, semakin banyak juga tarif yang dikenakan pada konsumen. Sofyan mengaku tidak khawatir kehilangan pelanggan bila per 1 April nanti tarif taksi berbasis online dan taksi konvensional tidak jauh berbeda.
"Ya, mau bagaimana lagi kalau perusahaan aplikasi sudah menentukan. Tapi, tetap, menurut saya konsumen akan cari promo. Mungkin promosi dibesarkan lagi," kata dia.
Dengan promosi potongan harga, menurut Sofyan, meskipun harga mirip konsumen tetap mendapatkan tarif lebih murah.
Salah seorang sopir taksi konvensional, Yon Mulyono, menganggap masalah tarif menjadi ramai karena pemerintah yang tidak segera menerapkan aturan. "Jadinya timbul kecemburuan sosial. Yang ribut orang bawah, seperti kami ini," kata Yon, yang mengaku turut berdemo menolak angkutan berbasis online beberapa waktu lalu.
Baca: Bahas Tarif Taksi Online,Soekarwo Telekonferensi dengan 2 Menteri
Menurut dia, sebaiknya taksi konvensional yang sudah ada dioptimalkan. Caranya dengan meremajakan armada serta mengganti mobil dengan jenis lebih besar, sehingga dapat memuat lebih dari tiga penumpang, seperti taksi berbasis online.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto mengatakan, dasar pertimbangan tarif jasa taksi berbasis online adalah untuk melindungi konsumen dan menjaga kesetaraan berusaha. Sosialisasi revisi PM 32/2016 akan selesai pada akhir Maret ini dan peraturan baru berlaku mulai 1 April.
Baca: Pro Kontra soal Taksi Online, ini 11 Poin Revisi Aturannya
Perusahaan penyedia layanan taksi berbasis online wajib mematuhi aturan tersebut.
Grab, Uber dan Go-jek selaku penyelenggara aplikasi transportasi online melalui pernyataan bersama pada Jumat, 17 Maret 2017, mengkritik revisi PM 32/2016 tentang kuota jumlah kendaraan, batas biaya perjalanan angkutan sewa dan kewajiban kendaraan terdaftar atas nama badan hukum.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, selama ini tarif taksi berbasis online bisa jauh lebih murah ketimbang tarif taksi konvensional karena menerapkan skema subsidi. Pemerintah ingin menerapkan prinsip kompetisi yang mendewasakan masyarakat.
“Ini bisa merugikan pengemudi, dalam jangka panjang menimbulkan penguasaan usaha berlebih. Tarif dan kuota itu matematis, yang penting ada niat bersama untuk menaati peraturan,” kata Budi di Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017. Budi mengakui, tarif batas bawah taksi berbasis online juga untuk melindungi kelangsungan taksi konvensional.
KHAIRUL ANAM | ANTARA