TEMPO.CO, Yogyakarta - Teater Gandrik mengocok perut penonton lewat pentasnya yang membawakan lakon Hakim Sarmin. Seperti biasanya, Gandrik mencampur isu-isu sosial politik yang kontekstual saat ini dengan lakon yang mereka bawakan. Ada isu Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta, sentimen agama, dan hoax.
Pentas yang ditonton ratusan orang itu berlangsung pada 29-30 Maret di Taman Budaya Yogyakarta. Gandrik juga akan memboyong pemainnya untuk kembali pentas pada 5-6 April di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Lakon Hakim Sarmin mengingatkan orang pada Hakim Sarpin, hakim yang mengabulkan gugatan Komisaris Jenderal Budi Gunawan atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemerantasan Korupsi. Budi Gunawan menjadi tersangka kasus dugaan kepemilikan rekening gendut. “Inspirasinya dari Hakim Sarpin itu,” kata penulis naskah lakon Hakim Sarmin, Agus Noor kepada Tempo, Kamis, 29 Maret 2017.
Menurut dia, cerita menggambarkan tentang kegilaan-kegilaan, misalnya hukum yang diputarbalikkan. Pentas teater malam itu mengambul latar rumah sakit jiwa bernama Pusat Rehabilitasi Hakim Sumber Waras.
Negara dikisahkan sedang krisis hakim karena hakim-hakimnya memilih masuk rumah sakit jiwa. Para hakim yang menolak masuk rumah sakit jiwa dikabarkan mati terbunuh. Keadaan itu menebarkan kecemasan dan teror.
Butet Kertaradjasa didapuk menjadi Hakim Sarmin. Di Panggung, ia seringkali menengadahkan tangannya, seperti merapal doa di rumah sakit jiwa itu. Hakim Sarmin berkata kegilaan dimulai dari pikiran. Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila. Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi tren. “Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul,” kata Hakim Sarmin.
Pimpinan Pusat Rehabilitasi, Dokter Menawi Diparani (diperankan Susilo Nugroho) menggambarkan bagaimana wabah kegilaan yang berbahaya. Gejalnya sulit dikenali, menjalar, dan menakutkan ketimbang wabah sampar. Dokter Menawi Diparani tak mampu mengendalikan para hakim yang menjadi pasien di rumah sakit jiwa yang dipimpinnya. Para hakim memberontak.
Sutradara Teater Gandrik, Djaduk Ferianto meramu dialog, lagu, dan bunyi musik tradisional. Sepanjang pementasan, Gandrik menyajikan tema berat yang dibawakan secara ringan dengan guyonan khas mereka.
Para pemain membawakan bagaimana kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan berjalan. “Pementasan ini menggambarkan keadilan dan kegilaan yang tak lagi bisa dibedakan,” kata Djaduk.
Teater Gandrik selama ini dikenal mengolah konsep dan bentuk teater tradisional dengan semangat panggung teater kontemporer. Untuk bisa menonton pentas ini, panitia membanderol tarif tiket dari Rp 45 ribu hingga Rp 200 ribu.
SHINTA MAHARANI