TEMPO.CO, Jakarta – Perkembangan industri film Indonesia belakangan ini kian menggembirakan. Jumlah penonton pada 2016 meningkat sangat signifikan. Katalog Film Indonesia yang diluncurkan Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum lama ini menyebutkan bahwa, per Oktober 2016, sebanyak 103 judul film yang ditayangkan di bioskop menyedot 28,4 juta penonton, naik dibanding pada tahun sebelumnya (2015), 15,4 juta.
Selain jumlah penonton, bukti lain disebutkan bahwa perkembangan industri film tak lagi Jakartasentris. Contoh, Siti, film independen karya Eddie Cahyono yang terpilih sebagai film terbaik Festival Film Indonesia dan Apresiasi Film Indonesia 2015.
Selain itu, film-film Yosep Anggi Noen, pembuat film asal Yogyakarta, menjadi langganan festival film internasional. Bahkan filmnya, yang bertajuk Istirahatlah Kata-kata, akhirnya ditayangkan di bioskop.
Makassar dalam beberapa tahun terakhir juga memproduksi film cerita panjang lokal yang laris di bioskop dengan meraup 521.028 penonton. Dan makin banyak film daerah lain yang mulai bermunculan, seperti Batam, Belitung, Pontianak, dan Kutai, yang beredar di bioskop.
Menanggapi hal ini, penulis skenario Irfan Ramli mengatakan daerah yang mengangkat cerita lokal belum banyak. Hal tersebut terjadi karena pangsa pasar yang belum stabil. Menurut dia, fenomena yang menarik memang terjadi di Makassar dengan film Uang Panai. Film ini hanya diputar di Makassar dengan jumlah layar yang tidak banyak, tapi bisa meraup jumlah penonton yang banyak.
Menurut lelaki penulis skenario film Cahaya dari Timur ini, rata-rata produksi film masih banyak terkonsentrasi ke masyarakat perkotaan Jakarta. Sebab, pasar film masih berpusat di perkotaan.
Kendati demikian, merupakan hal yang menarik bagi lelaki yang kerap disapa Ipang ini ketika seseorang diperhadapkan pada sebuah cerita, penonton tentu akan nyaman dengan film yang memiliki kedekatan. Misal, film berbahasa Jawa, penonton dengan keseharian berbahasa Jawa akan memiliki kedekatan terhadap film tersebut.
“Punya pasar atau tidak, pasti punya, dan film itu bisa dinikmati oleh orang yang memang memiliki kedekatan dengan penonton,” kata Ipang belum lama ini.
Namun yang menjadi kendala berikutnya, menurut Ipang, adalah keberadaan bioskop di daerah-daerah. “Misalnya, saya mau buat film di Jember, di sana tidak ada bioskop. Pasti mereka bisa menikmati filmnya, tapi mereka mau nonton di mana?,” katanya. *