TEMPO.CO, Jakarta - Nasi dan lauk-pauk disajikan beralas daun pisang segar, lalu dilahap beramai-ramai. Menurut Fadly Rahman, pakar sejarah kuliner Nusantara, tradisi makan itu tersebar dari Sabang hingga Merauke. "Yang dicari bukan hidangannya tapi keguyubannya, sebagai bentuk syukur. Ada pula yang menandakan perdamaian antarsuku seperti di Papua," kata dia.
Fadly menuturkan tradisi ini berawal dari masyarakat agraris ribuan tahun silam. Di masa paceklik, masyarakat memasak bersama untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mereka berkumpul untuk makan seadanya, dari apa yang diberikan alam. Konon, dari kebiasaan memasak bersama dengan memanfaatkan bahan pangan yang ada, muncul peribahasa makan enggak makan yang penting kumpul.
Dari berbagai ekspedisi, kata dia, muncul catatan mengenai kultur masyarakat Nusantara yang bersantap bersama di lantai dengan menggunakan daun pisang sebagai alas. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tradisi ini masih subur. Orang setempat menyebutnya liwetan, dalam bahasa Indonesia berarti menanak nasi. Di Mojokerto, misalnya, saban gerhana bulan tradisi liwetan digelar oleh ibu hamil. Tujuannya supaya jabang bayi dan ibu terhindar dari petaka yang dibawa buto ijo.
Oleh para pelaku usaha kuliner di Ibu Kota, tradisi itu tetap diterjemahkan sebagai makan beramai-ramai beralaskan daun pisang, di rumah makan. Ada beberapa tempat yang menawarkan menu liwetan. Salah satu yang paling populer adalah Warung Teteh Sukabumi di Jalan Petogogan, Jakarta Selatan.
Tempat ini nyaris tak pernah sepi. Jangan coba-coba datang tanpa memesan tempat terlebih dahulu jika tak kuat menahan rasa kecewa akibat "ditolak". "Harus pesan dulu maksimal sehari sebelumnya biar kebagian tempat dan masaknya pas," kata Sugih, 19 tahun, pengelola warung.
Jam makan siang adalah saat yang paling ramai. Terbukti saat kami datang mengunjungi tempat itu pada Kamis lalu, hampir tak ada meja kosong.
Di sini, tak perlu sungkan menyambar ikan, pete, dan jengkol dengan menggunakan tangan telanjang, tanpa sendok atau garpu. Di sela lauk-pauk, kita akan menemukan sayur-mayur yang sebagian besar disajikan mentah.
Salah satu pelanggan setia Warung Teteh adalah Hidayat Putrohari, 37 tahun, yang kerap memanjakan keluarganya makan besar di warung ini. "Sebulan sekali pasti ke sini sama anak, istri, atau teman sekantor," kata dia. Menu favoritnya adalah ikan dendeng asam manis. Untuk empat orang, Hidayat biasa mengeluarkan kocek minimal Rp 150 ribu.
Tradisi menyantap bersama beralas daun pisang juga ditemui di Bali dengan nama megibung. Di Jakarta ada restoran Ajengan Bali yang menawarkan sensasi megibung. Alas daun pisang dipakai untuk mengalasi piring, lalu ada sendok dan garpu yang disodorkan untuk membantu kita melahap sajian.
Ada pula sebuah piring bambu besar berisi aneka macam lauk-pauk yang siap disantap oleh empat hingga tujuh orang. Cita rasa Bali yang kaya bumbu rempah dan pedas menyambut penikmatnya. Dalam satu piring itu tersaji sate lilit, telur bebek pedas, sate tusuk, betutu, pelalah, jukut kalas, dan sambal matah.
DINI PRAMITA
Berita lainnya:
Superfood Puding Chia Ubi Ungu dari Chef Eddrian
2 Gaya yang Membuat Tali Sepatu Terlepas
Tempat-tempat yang Berpotensi Tularkan Penyakit ke Bayi