TEMPO.CO, Jakarta - PT Freeport Indonesia enggan mengomentari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas dugaan pencemaran lingkungan. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu menyatakan operasinya sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak karya dan peraturan perundang-undangan. "Kami beroperasi sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal, dan setiap tahun kami diaudit," kata juru bicara Freeport, Riza Pratama, kepada Tempo, Rabu, 3 Mei 2017.
Riza mengklaim, perusahaannya juga berkontribusi bagi pengembangan sosial di Papua sebagai kompensasi aktivitas penambangan. Salah satunya, sebagaimana tercantum dalam laporan Freeport, penyediaan program pengembangan pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan infrastruktur di Kampung Omawita, Fanamo, dan Otakwa sejak 2013 hingga 2017.
Baca: Daftar Dugaan Pencemaran Lingkungan Freeport dari Hulu ke Hilir
Freeport, kata Riza, juga memberikan dana kompensasi ke Pemerintah Kabupaten Mimika dan Pemerintah Provinsi Papua sejak 2011. Total dana yang dikucurkan perusahaan mencapai Rp 343,13 miliar. "Pemerintah mengetahui apa yang kami kerjakan,” ucapnya. Riza mengungkapkan Freeport belum mengambil tindakan untuk menyikapi hasil audit BPK. "Kami menunggu arahan dari pemerintah saja," ujarnya.
BPK menyatakan Freeport menimbulkan kerusakan lingkungan karena endapan material hasil tambangnya meluber dari sungai hingga ke laut. Sedimentasi tumpah karena kolam penampungan (Modified Ajkwa Deposition Area/ModADA) tidak mampu menampung kapasitas endapan pasir sisa tambang.
Baca: KLHK: Endapan Sisa Tambang Freeport Meluber
Ihwal tidak layaknya kondisi ModADA juga termaktub dalam audit lingkungan yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Teknologi Bandung pada 2014. BPK mencatat potensi kerugian lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 185 triliun. "Nilai itu adalah hasil dari Institut Pertanian Bogor yang ditelaah BPK dalam konteks keuangan negara," kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara kepada Tempo.
Freeport mengakui sedimentasi telah membawa dampak negatif pada masyarakat. Namun dampak itu sudah tercakup dalam amdal yang disetujui pemerintah pada 1997. Belakangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan dampak aktivitas perusahaan sudah melampaui kesepakatan dalam amdal. “Harus ada adendum amdal,” kata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan San Afri Awang.
ROBBY IRFANY