TEMPO.CO, Jakarta - Orang Indonesia sudah akrab dengan kain tenun. Kain tenun adalah susunan atau anyaman benang lusi dan pakan yang akan menjadi selembar kain.
Di setiap daerah seperti Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan masih banyak daerah lain di Indonesia, memiliki kain tenun dengan motif yang berbeda-beda.
Dalam acara media briefing yang dilakukan oleh INPEX Corporation di hotel Ibis Tamarina di Jakarta Pusat, , Rabu, 10 Mei 2017, Kepala Dinas Koperasi dan UKM kabupaten Maluku Tenggara Barat, Elizabeth Werembinan, berbagi cerita mengenai kain tenun Tanimbar.
Ia menceritakan mengenai sejarah kain tenun yang ada di MTB, yakni tenun Tanimbar. Awalnya, selain digunakan di tubuh, kain tenun juga merupakan transaksi upacara adat dan tidak diperbolehkan diberikan kepada orang lain,
“Tenun dipakai untuk tubuh dan juga sebagai alat transaksi upacara adat antara pihak laki-laki dan perempuan. Tenun diberikan sebagai bagian dari perlindungan atau amanah yang dibawa ke manapun. Tenun yang diberikan oleh pemberi pada saat upacara adat tidak boleh diberikan ke orang lain,” ujar Elizabeth.
Elizabeth juga menambahkan motif tenun yang ada di setiap kain terkait dengan kebiasaan dan adat masyarakat MTB dan pasti memiliki maknanya.
“Motif itu terkait kebiasaan dan adat masyarakat di sana, seperti memancing dan berburu. Semua yang ada di alam diaplikasikan ke dalam tenun yang dibuat karena masyarakat menghargai apa yang ada di alam. Mereka percaya semua hal yang ada di alam, selain untuk membantu kehidupan pasti ada makna atau maksud yang terkandung,” tambah Elizabeth.
Kain tenun Tanimbar yang ada jaman dulu masih dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami dalam pewarnaannya. “Pewarnaan dengan bahan alami yakni warna hitam dengan menggunakan debu-debu api dan coklat, selain dari mangrove, juga ditaruh di tungku api untuk menghasilkan warna cokelat,” ujar Elizabeth.
Sebelum adanya program ini, Elizabeth mengakui bahwa minat warga untuk melakukan tenun masih sedikit karena mereka menganggap tenun bukan merupakan mata pencaharian yang menjanjikan.
“Karena masih berkualitas rendah, mudah luntur, dan memakai benang jahit, kain menjadi kaku dan panas. Usaha masyarakat tidak berkembang, jadi orang Indonesia tidak tahu”, tuturnya.
Namun sekarang, warga MTB sudah banyak yang menjadi pengrajin kain tenun sehingga bisa mengerjakan 100 potong kain hanya dalam waktu seminggu.
“Kalau sekarang sudah banyak pengrajinnya, misalnya ada pesanan 48 potong kain dalam waktu seminggu pun bisa kita kerjakan. Bahkan seminggu kami bisa mengerjakan 100 potong,” papar Elizabeth.
Artikel lain:
OrangeMango Gritty, Minuman dengan Manfaat Ganda
Bedakan Penyakit Coeliac dan Alergi Gluten dari Gejalanya
Berapa Lama dan Seperti Apa Nifas yang Normal