TEMPO.CO, Bandung - Perupa Jeihan Sukmantoro meluncurkan buku yang dibarengi pembukaan pameran karya terbarunya dengan judul Sufi/Suwung, di Studio Jeihan Jalan Padasuka, Bandung, Jawa Barat, Kamis malam, 1 Juni 2017. Berjudul Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya, isinya riwayat perjalanan hidup dan kesenimanan Jeihan selama ini.
“Mencatat Jeihan tidak mudah, orangnya juga agak tertutup, inklusif, tidak banyak bergaul dengan orang,” kata penulis buku tersebut, Mikke Susanto. Buku setebal 240 halaman tersebut mengupas perjalanan hidup Jeihan, menyangkut kekaryaan, dan kehidupan pasca karya.
Jeihan merupakan seorang perupa ternama dan legenda hidup di Indonesia. Menjadi seniman utamanya sebagai pelukis sejak 1960-an, kariernya memuncak pada 1990-an. Sampai kini ia masih aktif melukis, selain menulis puisi.
Pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 26 September 1938 tersebut belajar seni lukis di Himpunan Budaya Surakarta (HBS) pada 1953. Sejak 1960 kuliah di jurusan Seni Rupa ITB namun tak sampai tamat. Lukisan bersosok dengan mata hitam atau bolong telah mulai dibuatnya.
Bersama rekan seperti Nyoman Gunarsa dan Dede Eri Supria, Jeihan termasuk salah satu ikon ledakan atau boom harga seni lukis Indonesia pada 1980-1990. Jenis lukisan bertema dan bergambar sosok perempuan merupakan yang paling banyak jumlahnya. Beberapa merupakan lukisan pesanan.
Jeihan pernah menjadi pelukis termahal. Pada 1985 misalnya, ia mematok harga karyanya lebih tinggi dari pelukis tenar Affandi. Pada kesempatan lain saat pemeran berdua dengan S. Sudjojono, Jeihan mematok harga hingga US$ 50 ribu.
Sudjojono sempat meragukan lukisan itu bakal laku. Ternyata ada yang membeli. Menurut Jeihan, Sudjojono sampai pingsan mengetahui hal itu. Pada buku tersebut juga memuat foto-foto karya lukis Jeihan, patung, seni grafis, dan lainnya.
ANWAR SISWADI