TEMPO.CO, Marawi - Ratusan pengungsi tergeletak di lantai aula Sekolah Menengah Atas (SMA) Perikanan Iligan di Kota Iligan, Provinsi Lanao del Norte, Filipina Selatan. Di gedung serbaguna Badelles, hari tengah panas-panasnya hingga badan terasa gerah.
”Ruang segini diisi enam keluarga,” kata Jenalyn Abuhan, salah seorang pengungsi, sambil menunjuk petak lantai berukuran 3 x 4 meter yang dibatasi tiga batang kayu. Kepada Tempo, perempuan 23 tahun itu mengatakan para pengungsi harus pintar-pintar mengatur tempat.
Baca: Tokoh Muslim Marawi Lindungi Warga Kristen
Ukuran tempat tinggal darurat itu makin menyusut lantaran dijejali perabotan. Dari ember, bak, gayung, jeriken, sampai botol-botol air minum. Agar sedikit terasa nyaman untuk tidur, para pengungsi mengalasi lantai semen kasar aula gedung itu dengan tikar atau karton.
Jenalyn merupakan satu dari 1.546 pengungsi dari Marawi, kota berjarak 37 kilometer dari arah selatan Iligan. Puluhan ribu orang bedol desa sejak Maute, kelompok milisi pro-ISIS, bentrok dengan tentara pada 23 Mei 2017. Pertempuran itu menghancurkan gedung dan rumah warga.
Baca: Detik-detik Menegangkan Tim Evakuasi Menemukan 16 WNI di Marawi
Selain di Iligan, para pengungsi Marawi terserak di berbagai tempat penampungan. Mulai Saguiaran, Pantar, hingga Baloi. Semua daerah itu terletak berderet di sepanjang Jalur Iligan-Marawi. ”Saya sudah 18 tahun tinggal di Marawi,” ucap Jenalyn, ibu satu anak tersebut.
Namun tidak semua pengungsi di Badelles tidur di aula. Ada ratusan orang pengungsi lainnya yang tinggal di kediaman kerabatnya. Mereka hanya datang ke SMA Perikanan Iligan ketika pembagian bantuan makanan.
Ketika malam tiba, Jenalyn mengatakan orang-orang dewasa biasanya tidur di lapangan rumput di halaman depan sekolah jika cuaca cerah. ”Namun semalam hujan dan lapangan banjir, kami terpaksa tidur berdesakan di aula,” ucapnya.
Kondisi serupa juga terlihat di tempat pengungsian Maria Cristina Gymnasium di Barangay Maria Cristina. Barangay adalah sebutan untuk desa. Di lokasi pinggiran Iligan itu, ada sekitar seribu pengungsi yang terdaftar untuk tinggal di aula seukuran lapangan basket.
Di Maria Cristina Gymnasium, para pengungsi anak-anak mendapat perhatian khusus. “Ada terapi psikososial untuk mengurangi rasa takut dan trauma,” kata Prednison S. Morales, pekerja sosial dari Palang Merah Filipina.
MAHARDIKA SATRIA HADI (ILIGAN)