Tantangan Berpuasa saat Musim Panas di Jerman dan Rusia

Sarah Edna Fadilah Ramadhani, mahasiswi Indonesia yang belajar di Fakultas Kedokteran Bashkir State Medical University, Kota Ufa, Republic Bashkortostan, Rusia. Ia sedang berbuka puasa dengan kue sus ala Rusia. Istimewa
Sarah Edna Fadilah Ramadhani, mahasiswi Indonesia yang belajar di Fakultas Kedokteran Bashkir State Medical University, Kota Ufa, Republic Bashkortostan, Rusia. Ia sedang berbuka puasa dengan kue sus ala Rusia. Istimewa

TEMPO.CO, Jakarta – Berpuasa Ramadan kala musim panas di Jerman dan Rusia bisa menjadi tantangan bagi warga negara Indonesia yang selama ini berpuasa hanya selama 13-14 jam.

Akhir Mei lalu adalah tanda berakhirnya musim semi di Jerman. Suhu udara melonjak drastis menjadi 30 derajat celcius. Masa itu bertepatan dengan mulainya ibadah Ramadan warga muslim di dunia.

Musim panas yang menyengat itu membuat tantangan berpuasa kian berat.

Baca: Trauma Peristiwa Brexit 2016, Pemudik Pulang Kampung Lebih Awal

Angin berhembus kencang berkepanjangan. Cuaca terik. Tenggorokan Rahmi Lestari, 25 tahun, warga negara Indonesia (WNI) yang baru saja menginjakkan kaki di Jerman pertengahan bulan lalu terasa dahaga.

Ia sebenarnya tingal di sana untuk menempuh sekolah bahasa di Munchen Volkschochschule, Jerman. Rahmi pertama kalinya menjalani puasa di negeri orang. Sekaligus, kali pertama baginya berpuasa lebih dari 14 jam.

Di Jerman, Rahmi benar-benar merasakan berpuasa selama lebih dari 18 jam.

"Lumayan berat, apalagi buat saya ini pertama kali datang (di Jerman), terus beberapa hari kemudian sudah masuk bulan Ramadan," kata Rahmi kepada Tempo pada Sabtu, 17 Juni 2017.

Apalagi ia tak sempat melakukan penyesuaian dengan iklim di Jerman. Tak pelak ia menghadapi masa jetlag atau perubahan waktu istirahat. Gadis jebolan Universitas Negeri Jakarta itu kesulitan menyesuaikan jadwal tidur, sahur, dan berbuka puasa.

Di Jerman, ia harus mulai sahur ketika pukul 02.30 waktu setempat. Karena masa imsak di sana pukul 03.00. Ia harus merombak jadwal tidur beberapa hari setibanya di Jerman.

Orang tuanya sempat menyarankan agar banyak mengonsumsi madu dan vitamin. Hal ini untuk menjaga kondisi tubuh yang akan dipaksa puasa selama hampir 20 jam.

Baca: Ramadan di Qatar: Konflik Hubungan Diplomatik sampai Nasi Mandy

Hari-hari pertama berpuasa terasa sangat panjang baginya. Biasanya, di Indonesia waktu berbuka hanya menunggu 14 jam atau sekitar pukul 17.45 WIB. Sedangkan di Jerman adzan magrib baru terdengar pada pukul 21.15.

"Biasanya sekitar pukul 18.00 sudah mulai berasa kering banget tenggorokan pengen minum," ucap Rahmi. Madu dan meminum air putih yang banyak saat sahur akan membantunya kuat menjalani puasa.

Selain itu, yang terpenting bagi dia adalah niat berpuasa. Hal ini yang menjadikannya kuat menjalani puasa selama dua pekan terakhir di Jerman.

Apa yang dialami Rahmi, juga sedang dirasakan Sarah Edna Fadilah Ramadhani, mahasiswi Indonesia yang belajar di Fakultas Kedokteran Bashkir State Medical University, Kota Ufa, Republic Bashkortostan, Rusia.

Dia hampir tujuh tahun menjalani puasa di negara bekas Uni Soviet tersebut.

"Saat ini di Rusia, suhu udara mencapai 24-28 derajat celcius," kata Sarah saat dihubungi melalui sambungan telepon pada hari yang sama. Ia menyatakan pernah merasakan suhu udara mencapai 44 derajat celcius.

Tantangan berpuasa makin berat lagi karena Sarah juga berpuasa lebih dari 19 jam.

Pada tahun pertama tinggal di Rusia, Sarah merasakan perbedaan puasa di tanah air dengan di Rusia. Ia mendapat saran dari orangtuanya agar latihan puasa sunnah, sebulan sebelum Ramadan.

Cara itu dianggap efektif untuk melatih resistensi daya tahan tubuh menghadapi panjangnya durasi puasa.

Selain itu, dia juga menyiapkan menghitung kebutuhan tubuhnya; mulai dari kalori, karbohidrat, nutrisi, dan lain sebagainya. Biasanya dia akan lebih banyak makan buah, sayur, dan memperbanyak air mineral. "Caranya saya selalu masak sendiri, biar lebih hemat juga," ucap dia.

Biasanya dia juga membagi waktu istirahat beberapa kali saat siang hari. Selepas kuliah pagi hari, ia akan tidur di asrama.

Kemudian jalan-jalan atau ngabuburit bersama teman-temannya dari Indonesia. Kebetulan di Kota Ufa menyediakan banyak fasilitas publik untuk olahraga, bermain di taman, dan pusat aktivitas kesenian.

Baca: Tip Mudik Aman dengan Bersepeda Motor

Selama hampir tujuh tahun itu Sarah juga aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Rusia (Permira). Ia kerap menghabiskan waktu puasa dengan berdiskusi dan kegiatan kampus.

Satu di antaranya menampilkan lagu-lagu atau tarian khas tradisional Indonesia. Pada bulan depan ia rencananya akan diwisuda dan segera pulang ke Indonesia pada Agustus.

Kata Sarah, di Kota Ufa juga ada banyak warga muslim dari sejumlah negara. Mereka biasanya membuka posko Ramadan di sejumlah masjid. Saat hari raya Idul Fitri orang-orang mengucapkan selamat Lebaran padanya dan kepada umat muslim lain.

Bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin dan para presiden di negara bagian juga akan mengucapkan selamat Ramadan di stasiun televisi nasional. Kata dia, toleransi itu selalu dipupuk oleh mereka. "Saya salut dengan toleransi di sini," tutur Sarah.

AVIT HIDAYAT