TEMPO.CO, Jakarta - Kode Social 267, begitulah tema yang diangkat dalam pameran seni, film, dan amal yang digelar sekelompok anak muda lintas agama yang diprakarsai oleh Komunitas Beta Film, Bengkel Sastra maluku, serta lembaga Pers Mahasiswa ( LPM ) Lintas. Mereka tak asal memberi tema.
Kode Social diartikan memecahkan. Adapun 267 merupakan kode pada tangga lagu “ Re-La-Si “. Secara keseluruhan, tema Kode Social 267 mengandung arti memecahkan persoalan relasi sosial baik manusia, kekuasaan dan alam semesta sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Sebanyak 19 lukisan milik Petra Ayowmbun, Joner Lakburlawal, serta Teisart Saiya yang dikolaborasikan dengan puisi Morika Tetelepta dan Revelino Berry berjejer di sudut kiri ruang aula lama Institut Agama Islam Negeri Ambon. Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu secara artifisial diterjemahkan para seniman itu lewat puisi supaya pengunjung mudah memahami maknanya.
Dalam lukisannya, Petra Ayowembun melukiskan sesosok tubuh manusia berkepala telepon pintar dengan kaki terlilit rantai. Ia ingin menceritakan, bagaimana manusia adalah satu mata rantai, ikatan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Telepon pintar diartikan sebagai penghubung antara manusia melalui media komunikasi sosial.
Petra tak menampik, meski media sosial seringkali digunakan sebagai tempat perdebatan sesama penggunanya namun relasi antar manusia terus berjalan dalam ruang dan waktu. “Makna rantai sebenarnya adalah ikatan, kepala manusia saya ganti dengan telepon pintar. Kenyataan yang saya rasakan di jaman sekarang dengan bantuan media sosial kita saling terhubung walupun ada bagian yang terputus saat berdebat tapi disaat bersamaan komitmen tetap berjalan, ” ujar petra.
Lukisan lainnya karya Joner Lakburlawal, menyentil bagaimana konflik antara relasi kekuasaan diperlihatkan lewat ilustrasi seorang penguasa mengenakan setelan jas, tengah duduk santai menggengam botol whisky di bawah tubuh manusia yang membungkuk. Lambang dolar diatas kepala sang penguasa melambangkan ketimpangan ekonomi penyebab kemiskinan dan kerusakan alam.
Lukisan itu memperlihatkan ketimpangan relasi kekuasaan antara uang, alam dan makhluk hidup tidak seimbang.
Sementara itu, disudut lain pameran tersebut menampilkan foto-foto dokumentasi baileo doc dan beta film, lewat foto mereka ingin bercerita hubungan relasi antar pemuda di Maluku, baik muslim maupun kristen melalui kerja-kerja kreatif saat pembuatan film dokumenter.
Selain Pameran seni rupa dan foto, pengunjung juga disuguhkan pemutaran film Pendayung Terakhir oleh mahasiswa jurnalistik IAIN. Usai menonton yang bertepatan dengan waktu berbuka puasa, acara dilanjutkan dengan bersantap takjil bersama. Puluhan pengunjung duduk melingkari aula baik yang yang muslim maupun kristen bersama-sama menikmati takjil.
Kegiatan pameran diakhiri dengan pembagian santunan kepada anak-anak yatim piatu. “ film, art, dan amal merupakan kegiatan yang diinisiasi pertamakalinya, dimaksudkan untuk membuka ruang diskusi mengenai keberagaman dan perbedaan yang ada melalui medium fim dan seni yang mempertemukan kami hidup berdampingan, ” ujar sineas Pityanto Manuputty.
RERE KHAIRIYAH