TEMPO.CO, Jakarta - Tumbangnya gerai 7-Eleven alias Sevel di Indonesia tidak menjadi bukti adanya permasalahan dalam bidang industri. Hal ini lebih mencerminkan kondisi tertentu yang dialami bisnis waralaba tersebut.
Fitch Ratings meyakini tutupnya semua gerai Sevel yang dikelola PT Modern Internasional Tbk (Modern Internasional) menggarisbawahi risiko regulasi yang berkembang serta pentingnya model bisnis yang solid untuk profil kredit peretail.
“Masalah ini diperburuk dengan kurangnya diferensiasi yang jelas antara toko kelontong (convenience store) 7-Eleven serta restoran makanan cepat saji dan berskala menengah di Indonesia,” ujar lembaga pemeringkat internasional itu, seperti dikutip dari www.fitchratings.com, Senin, 3 Juli 2017.
Model bisnis dan risiko 7-Eleven dinilai serupa dengan restoran karena toko retail modern tersebut menawarkan makanan dan minuman siap saji dengan tempat duduk dan koneksi Wi-Fi gratis.
Akibatnya, Sevel dihadapkan dengan kuatnya persaingan dengan restoran cepat saji dan penyedia makanan tradisional, yang masih sangat populer di kalangan konsumen Indonesia.
Profil risiko bisnis ini secara signifikan berbeda dari minimarket dan convenience store lain, seperti Alfamart dan Indomaret, yang memberi penekanan lebih besar pada belanja bahan makanan serta memiliki jaringan yang lebih besar di seantero Nusantara.
Sebelumnya, Modern Internasional menyatakan akan menutup semua gerai 7-Eleven di bawah pengelolaannya per 30 Juni 2017 akibat kurangnya sumber daya untuk mendanai pengoperasian toko. Pengumuman tersebut dibuat beberapa pekan setelah kesepakatan untuk menjual anak perusahaan yang mengoperasikan rantai 7-Eleven ke PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk gagal terlaksana.
Model bisnis Modern Internasional untuk rantai 7-Eleven di Indonesia pun terhambat oleh perkembangan peraturan yang kurang kondusif. Perusahaan retail tersebut menutup sekitar 25 gerai Sevel pada 2016 sehingga tersisa 161 dari sekitar 185 gerai pada 2015.
Langkah itu diambil setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Industri pada April 2015 yang melarang penjualan minuman beralkohol dalam format retail modern.
Padahal penjualan sektor tersebut sebelumnya berkontribusi sekitar 15 persen dari penjualan Modern Internasional. Penutupan sejumlah gerai pada akhirnya menyebabkan penurunan penjualan 28 persen dan kerugian EBITDA pada 2016.