TEMPO.CO, Jakarta - Sektor manufaktur Indonesia terkontraksi untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir. Indeks manufaktur pada Juni berada di angka 49,5 dari sebelumnya 50,6 pada Mei.
Indeks di atas 50 mengindikasikan ekspansi manufaktur. Sebaliknya, indeks di bawah 50 menandakan sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi.
Ekonom IHS Markit, Pollyanna De Lima, menyatakan perlambatan kinerja manufaktur dipicu anjloknya permintaan domestik. Penurunan permintaan domestik itu menjadi penyebab pabrikan menahan produksi.
Baca: BPS: Industri Manufaktur Mikro dan Kecil Bertumbuh 6,63 Persen
“Pelemahan permintaan domestik memicu penurunan produksi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin, 3 Juli 2017.
Sebaliknya, permintaan produk manufaktur dari pasar ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa, justru memperlihatkan tren penguatan.
Sektor industri pengolahan dalam negeri juga menghadapi tekanan inflasi bahan baku. Menurutnya, berbagai bahan baku di Indonesia mengalami lonjakan harga pada Juni, di antaranya bahan baku makanan, tekstil, bahan kimia, kertas, plastik, dan karet.
Simak: Sejak 2015, Indonesia Masuk 9 Besar Industri Manufaktur Dunia
Secara umum, kata dia, rata-rata indeks manufaktur Indonesia pada kuartal kedua masih berada di wilayah ekspansi. Data itu, ujarnya, memperlihatkan upaya sektor memperkuat kontribusi terhadap produk domestik bruto.
Pelemahan manufaktur Indonesia juga linier dengan anjloknya manufaktur negara-negara anggota ASEAN lain. Indeks manufaktur ASEAN juga turun ke angka 50,0 pada Juni dari posisi 50,5 pada Mei.
Di ASEAN, ekspansi manufaktur hanya dialami empat negara, yaitu Filipina (53,9), Vietnam (52,5), Thailand (50,4), dan Singapura (50,3). Sedangkan sektor manufaktur negara ASEAN lain turut mengalami kontraksi.
Umumnya, negara-negara ASEAN turut mengalami penurunan permintaan domestik. Kenaikan permintaan dari pasar ekspor masih berada dalam tren penguatan, tapi pabrikan juga dibayangi tekanan inflasi harga bahan baku.