TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, mempertanyakan kegentingan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Ia menilai bila pemerintah merasa ada kegentingan mestinya perpu itu langsung dijalankan.
"Ini sudah seminggu tidak ada ormas yang dibubarkan," kata Yusril di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 18 Juli 2017. Pakar hukum itu mencontohkan salah satu perpu yang mendesak segera diterbitkan, yaitu saat terjadi ledakan bom Bali pada 2002.
Baca: Eks Ketua MK: Perpu Ormas Tak Penuhi Syarat Dikeluarkannya Perpu
Yusril yang saat itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan menyebut kehadiran Perpu Nomor 1 Tahun 2002 itu diperlukan untuk mengejar pelaku pemboman. Begitu selesai dibacakan, ucap Yusril, aparat kepolisian langsung bertindak berdasarkan Perpu itu.
Selain itu, ketika menjadi Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di era presiden keempat Abdurrahman Wahid, Yusril mengatakan pemerintah mengeluarkan Perpu tentang Pembentukan Kawasan Pelabuhan Bebas. Latar belakang terbitnya Perpu itu karena Wali Kota Sabang ditahan oleh Gerakan Aceh Merdeka. "Dia terancam mau dibunuh dan tentara tidak bisa masuk," ucapnya.
Simak pula: Gaduh Perpu Ormas, FPI Kalimantan Selatan Akan Gelar Demo Akbar
Ihwal alasan keluarnya Perpu Ormas yang bertujuan untuk membubarkan organisasi anti-Pancasila, Yusril menilai ada rumusan multitafsir tentang itu. Oleh sebab itu, HTI memilih mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi.
Lewat kuasa hukum Yusril Ihza Mahendra, Hizbut Tahrir Indonesia secara resmi mengajukan uji materi terhadap Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat. Ada lima pasal yang ingin diuji oleh HTI, yaitu Pasal 59 ayat 4, Pasal 61 ayat 3. Lalu Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82 A.
ADITYA BUDIMAN