TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika harus bekerja keras menyisir konten-konten radikal lain di luar kerepotan memblokir Telegram, yang ternyata juga digunakan sebagai sarana berkomunikasi para terduga teroris.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan pemblokiran domain Telegram berdasarkan temuan konten radikal yang melanggar aturan perundang-undangan. "Ada 17 ribu konten yang telah didata," katanya, Senin, 17 Juli 2017.
Sebelum melakukan pemblokiran, menurut Samuel, Kementerian mengirimkan permohonan kepada manajemen Telegram untuk membersihkan konten tersebut. Keputusan untuk melakukan pemblokiran setelah tidak ada respons dari Telegram.
Baca: Konten Radikal, CEO Telegram Akui Lamban Penuhi Permintaan RI
Pada 14 Juli 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika memerintahkan seluruh Internet service provider untuk memblokir 11 domain name system layanan Telegram. "Yang diblokir itu Telegram versi website, yang berisi ribuan konten radikal dan teroris," ujarnya.
Menurut Samuel, pemblokiran terhadap website jauh lebih efektif daripada aplikasi Telegram. Website Telegram mempunyai kemampuan melakukan transfer data sebesar lima gigabyte. "Hal ini menjadi pusat pertukaran informasi teroris," ucapnya.
Baca: Kominfo Sebut Aplikasi Mobile Telegram Masih Bisa Digunakan
Pemblokiran Telegram sontak memancing keluhan warga Twitter. Mereka mempertanyakan alasan penutupan Telegram dengan berbagai nada ekspresi, mulai pertanyaan datar hingga makian.
Jauh sebelum hari ini, isu pemblokiran aplikasi Telegram sempat beredar. Hal itu dikaitkan dengan tudingan bahwa aplikasi ini menjadi pilihan favorit kelompok radikal pelaku teror.
Baca: Kapolri Tito: Telegram Menjadi Aplikasi Favorit Teroris, Karena..
Di Rusia, aksi pengeboman di stasiun metro Saint Petersburg, Rusia, 3 April 2017, disebutkan melibatkan teroris yang menggunakan aplikasi Telegram.
IRSYAN HASYIM