TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengatakan pihaknya akan menurunkan tim pemantau sidang putusan praperadilan dalam kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini, 2 Agustus 2017. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung, menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah menetapkannya sebagai tersangka pada kasus BLBI.
Farid menjelaskan, pemantauan ini sebagai bentuk pengawasan KY untuk memastikan persidangan berjalan sebagaimana mestinya. “Sehubungan dengan itu, KY akan berfokus pada etika hakim dalam prosesi persidangan ini, baik perilaku di dalam sidang maupun perilaku di luar sidang,” katanya lewat keterangan tertulisnya, Selasa, 1 Agustus 2017.
Baca: KPK: Praperadilan Syafrudin Tumenggung Tak Ganggu Pengusutan BLBI
Terkait dengan hasil persidangan nantinya, Komisi Yudisial meminta semua pihak menghormati profesi dan putusan hakim dengan menjaga independensi dan imparsialitasnya.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, sebelumnya menyampaikan harapannya agar KY hadir dalam sidang praperadilan kasus BLBI untuk memantau jalannya persidangan demi menjaga marwah peradilan. "Jadi bukan berangkat dari kecurigaan-kecurigaan. Tapi untuk menjaga marwah peradilan tersebut," kata Febri di kantornya, Selasa.
Ia pun memastikan KPK akan memantau sidang praperadilan kasus BLBI, sekaligus merekam jalannya sidang untuk dijadikan bahan pembelajaran. Febri berharap majelis hakim memberikan putusan yang bisa memperkuat pengusutan perkara BLBI oleh KPK.
Dalam perkara BLBI, Syafruddin dituding mengabaikan rekomendasi timnya di Badan Penyehatan Perbankan Nasional agar menyeret pemilik PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, ke pengadilan. Syafruddin diduga memaksakan penerbitan keterangan lunas untuk Sjamsul meski piutang negara masih tersisa Rp 3,7 triliun.
Kasus BLBI bermula saat Syafrudin memimpin BPPN pada April 2002. Saat itu, BPPN sedang menagih utang sejumlah bank penerima BLBI di era krisis keuangan 1997-1998. Khusus terhadap utang BDNI, tim BPPN sebenarnya telah memutuskan agar menyeret Sjamsul ke jalur litigasi. Pasalnya, nilai aset yang diserahkan Syamsul lebih rendah Rp 4,75 triliun dibanding sisa utang Rp 27,4 triliun.
Dua bulan setelah menjabat, Syafruddin mengusulkan kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk mengubah penyelesaian kewajiban obligor dari litigasi menjadi restrukturisasi. Usul pun disetujui, yang belakangan hasilnya hanya menambah pembayaran Rp 1,1 triliun dalam bentuk tagihan ke sejumlah petani tambak Dipasena Lampung yang berutang ke BDNI.
AHMAD FAIZ | MAYA AYU PUSPITASARI