TEMPO.CO, Jakarta - Sebelas perusahaan pembangkit listrik mandiri atau independent power producer batal menandatangani kontrak jual-beli listrik dengan PT PLN (Persero).
"Alasannya (mengapa batal) belum kami terima secara formal," kata Direktur Perencanaan PLN Nicke Widyawati selepas penandatanganan kontrak jual-beli listrik di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Agustus 2017.
Menurut Nicke, sebelum tahap teken kontrak tersebut, proses yang telah dilalui cukup panjang. Proses itu bermula sejak tahun lalu, yaitu penyerahan proposal dari pengembang kepada PLN wilayah. Memang untuk pembangkit listrik skala kecil mekanisme yang digunakan adalah penunjukan langsung.
Setelah itu, dia meneruskan, barulah dilakukan kajian untuk menentukan harga dasar dan diajukan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bila disetujui, dibuat kontrak yang bisa ditandatangani kedua belah pihak. Namun, tidak menandatangani kontrak adalah hal yang lumrah dalam bisnis. "Namanya jual-beli kan kesepakatan dua pihak. Kalau ada yang enggak sepakat, ya batal," ucap Nicke.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan pun menyatakan tak ada masalah dengan batalnya 11 perusahaan meneken kontrak jual-beli listrik. "Ya, enggak apa-apa. Ini kan enggak ada pemaksaan," ujarnya. Apalagi kontrak yang diajukan bersifat jangka panjang, yaitu 20 tahun. "Kalau merugikan, sebaiknya jangan. Kalau tidak bisa bertahan atau sustain selama 20 tahun, kan akan merugikan."
Mengenai kemungkinan batal akibat tak sesuai dengan tarif versi pemerintah, Jonan berpendapat dia lebih mendengarkan komentar masyarakat yang ingin tarif tidak setiap tiga bulan naik. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan listrik dan harganya terjangkau. Pemerintah paham, pengembang melakukan investasi yang harus ada pengembalian modal yang wajar. "Tentu pemerintah akan bikin penyesuaian dari waktu ke waktu, biar fair," kata Jonan.
Perwakilan PT Biomass Energy Abadi, salah satu perusahaan pembangkit listrik dari kawasan Aceh Langsat, Yani Paripurna, mengatakan kemungkinan alasan 11 perusahaan tersebut karena tarif yang diajukan PLN tidak sesuai dengan harapan. "Mereka punya perhitungan masing-masing, kan. Mungkin dari segi bisnis mereka menilai tidak masuk. Kalau untuk kami, (tarif itu) bisa masuk lah," kata Yani.
Yani mengakui, dengan adanya penyesuaian tarif, waktu balik modal menjadi tujuh tahun. Kalau menggunakan tarif yang lama, waktu balik modalnya bisa lima tahun. Meski demikian, dalam kontrak jual-beli listrik dengan tarif Rp 1.735, Yani mengatakan, perusahaannya tetap memperoleh keuntungan. "Kalau enggak (untung), enggak kami bangun (pembangkit) itu di sana," ujarnya.
CAESAR AKBAR | JOBPIE S.