TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pertumbuhan ekonomi yang tumbuh stagnan atau tak mengalami perubahan 5,01 persen di triwulan II 2017. Hal ini, kata dia, mengindikasikan perekonomian sedang dalam kondisi tidak sehat.
Salah satu penyebabnya adalah konsumsi rumah tangga yang kinerjanya masih di bawah ekspektasi atau tumbuh 4,95 persen (year on year). "Angka ini terbilang rendah karena tahun lalu bisa tumbuh 5,07 persen," ujarnya, saat dihubungi Tempo, Senin, 7 Agustus 2017.
Simak: Indef Beberkan Penyebab Biaya Produksi Padi Indonesia Mahal
Padahal, konsumsi rumah tangga menjadi motor pertumbuhan ekonomi paling utama dengan kontribusi terhadap ekonomi sebesar 56 persen. "Penyebab lesunya konsumsi bisa ditelusuri dari kebijakan pemerintah yang menyesuaikan harga listrik golongan 900 VA."
Dampak tersebut kata dia telah dirasakan pada daya beli masyarakat mulai Januari hingga Juni tahun ini. Perlambatan konsumsi juga terjadi pada kelompok masyarakat atas, di mana mereka memilih untuk menunda konsumsi dan mengalihkan pendapatan ke tabungan. "Motifnya lebih ke berjaga jaga," ucapnya.
Bhima berujar dari sisi belanja pemerintah tahun ini juga tak bisa diharapkan. Penyebabnya adalah penyerapan belanja yang masih rendah dan dampak penghematan anggaran yang juga akan dirasakan di semester II 2017. "Bahkan THR dan Gaji ke-13 pun terbukti belum mampu menangkal pelemahan daya beli," katanya.
Terkait dengan kinerja sektoral, menurut Bhima perlu diperhatikan pertumbuhan industri pengolahan, di mana angkanya tercatat menurun tajam dibandigkan triwulan I sebelumnya, yaitu dari 4,24 persen menjadi 3,54 persen. "Selain itu industri pengolahan masuk ke fase deindustrialisasi dengan share industri yang terus menurun terhadap PDB," ujarnya. BPS mencatat share industri pengolahan hanya 20,26 persen, turun dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 21 persen.
Menurut Bhima, jika fenomena deindustrialisasi terus dibiarkan maka akan terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja secara agregat dan berakibat pada penurunan pendapatan masyarakat secara umum. Dia mengatakan harapan saat ini adalah bertumpu pada investasi dan ekspor.
"Untuk investasi bisa tumbuh 4,78 persen sudah cukup bagus ditengah ketidakpastian ekonomi global," ucapnya. Dia menuturkan untuk ekspor pertumbuhannya di atas ekspektasi yaitu mencapai 8,21 persen. Peningkatannya dipengaruhi oleh perkembangan harga komoditas seperti CPO dan batu bara yang naik dari awal tahun.
"Harapannya dua sektor penunjang ini bisa terus dijaga pertumbuhannya sampai akhir tahun," katanya. Hingga akhir tahun, Bhima memprediksi pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran angka 5-5,1 persen (year on year) atau di bawah target pemerintah 5,2 persen (year on year).
GHOIDA RAHMAH