TEMPO.CO, Padang - Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu mewaspadai pelanggaran politik identitas berkaitan dengan isu sentimen terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada pilkada 2018 dan Pemilu 2019. "Politik identitas lebih berbahaya. Jangkauannya lebih luas," ujar Koordinator Divisi Hukum Bawaslu, Fritz Edward Siregar, Rabu, 9 Agustus 2017.
Fritz di Gedung Bawaslu mengatakan pelanggaran politik identitas sangat rentan terjadi pada pilkada dan pemilu. Penggunaan sentimen suku, agama, dan kelompok tertentu dalam politik identitas berpotensi memicu konflik sosial. Dia mencontohkan penyelenggaraan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. "Pilkada Jakarta satu dari banyak kasus. Pelanggaran ini juga terjadi di Kalimantan Timur dengan isu suku, Banjarnegara dengan isu etnis, dan seperti di Solo dengan isu agama," ujarnya.
Baca juga:
DPR, KPU, dan Bawaslu Mulai Bahas Pilkada Serentak 2018
Tjahjo Kumolo Dukung Penambahan Komisioner KPU dan Bawaslu
Fritz mengaku sulit mengawasi pelanggaran politik identitas. Peran media sosial dalam pelanggaran ini sangat besar, sehingga susah untuk menyelidikinya. Namun, kata dia, Bawaslu sedang merancang strategi untuk mengawasi terjadinya politik identitas.
Bawaslu mengharapkan peranan dari pengelola teknologi, kelompok masyarakat, dan pemerintah. "Harus ada kerja tim, tidak bisa Bawaslu saja. Harus ada peran dari kementerian untuk memberantasnya," ujar Fritz, mengungkapkan rencana kerja sama Bawaslu dengan Google dan Facebook. “Tidak tertutup kemungkinan juga bekerja sama dengan Twitter.”
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan penyelenggara pemilu harus serius mengatasi politik identitas. Sebab, hal itu berpotensi menimbulkan friksi baru di tengah masyarakat.
ANDRI EL FARUQI