TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, jika Indonesia bisa memanfaatkan revolusi digital dengan baik, pertumbuhan ekonomi bisa dibawa hingga mencapai angka 7 persen per tahun. Ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan big data untuk dianalisis dalam pengambilan keputusan.
“Dalam pengamatan kami, pemanfaatan big data di Indonesia dalam lima tahun terakhir makin meluas,” kata Agus saat ditemui di Bank Indonesia, Jakarta, Rabu, 9 Agustus 2017.
Agus menyebut big data bisa digunakan untuk mendukung aktivitas pelayanan ke pelanggan atau ke masyarakat secara lebih efisien dan efektif. Selain itu, bisa mengurangi biaya distribusi dan memperkuat analisis risiko bisnis di sektor keuangan.
Pengembangan penggunaan big data di Bank Indonesia dibagi menjadi tiga fase. Pertama, fase establishing foundation pada 2015-2018, lalu fase kedua, empowering, pada 2019-2021. Fase terakhir adalah executing innovative pada 2022 sampai tahun-tahun berikutnya.
Bank Indonesia memperoleh manfaat dari penggunaan big data dalam bentuk tersedianya indikator-indikator baru secara lebih cepat dan sering, sehingga dapat mengatasi isu data lag yang sering dihadapi dalam perumusan kebijakan.
Lalu adanya keterkaitan antar-pelaku keuangan sehingga dapat dipetakan lebih baik melalui penguatan network analytic untuk memitigasi risiko sistemik. Terakhir, persepsi publik atas kebijakan yang dikeluarkan bank sentral dapat dipantau lebih akurat melalui sentimen analisis.
Agus melihat ada tiga tantangan dalam penggunaan big data, seperti ketersediaan dan akses terhadap sumber data, misalnya data secara real time sebagai basis kebijakan yang mampu menjawab situasi terkini. Padahal, di sisi lain, aksesibilitas data sering berbenturan dengan aspek kerahasiaan data.
Tantangan berikutnya adalah kualitas data, karena data yang dikandung adalah data mentah sehingga perlu dibersihkan terlebih dahulu. “Proses data cleansing ini critical agar bersih dan bisa dianalisis,” ucapnya.
Tantangan terakhir adalah ketersediaan sumber daya manusia dengan kualifikasi data scientist. Agus mengungkapkan, revolusi digital belum diimbangi kecukupan keluaran perguruan tinggi yang memiliki keahlian memproses big data. “Diperlukan kolaborasi erat dunia akademik,” tuturnya.
DIKO OKTARA