TEMPO.CO, Jakarta -Kebijakan fiskal desa belum efektif menciptakan kesejahteraan. Indikasinya, selama 2015-2016, asupan dana desa melonjak 127 persen menjadi Rp 47 triliun.
“Tapi pendapatan rakyat turun 1 persen (Rp 711.266 per orang per bulan), kemiskinan bergeming 14 persen, dan indeks gini pengukur ketimpangan hanya lebih rendah 1 persen,” demikian opini yang ditulis oleh sosiolog pedesaan Institut Pertanian Bogor, Ivanovich Agusta dalam rubrik Pendapat Koran Tempo edisi Jumat, 11 Agustus 2017.
Baca: Sri Mulyani Temui Jonan Bahas Freeport
Jika mengacu pada survei Badan Pusat Statistik 2014-2016, menunjukkan pendapatan asli semua desa tidak beranjak dari Rp 4,3 triliun. Proporsinya tinggal 5,61 persen dari anggaran pendapatan desa. Pengeluaran di bidang pemerintahan desa sebesar 42 persen atau Rp 240 juta per desa. Setelah dikurangi pembelian alat, bahan, dan biaya kegiatan yang Rp 40 juta setahun, honor aparatur pemerintah tinggal rata-rata Rp 1,4 juta per bulan.
Baca: Freeport Bikin Sri Mulyani dan Jonan Bungkam
“Ini mencukupi untuk perangkat desa , tapi kepala desa tetap perlu merogoh sakunya kala masyarakat meminta bantuan karena kecelakaan, telat membayar SPP anak, dipecat, meninggal, hingga pergi ke kota mengambil sertifikat,” kata Ivanovich.
Selengkapnya baca di sini.
INDONESIANA | ISTI