TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Sudrajat mengatakan, tingkat keterisian atau okupansi hotel di Indonesia selama periode 2016-2017 terus mengalami penurunan.
Menurut Sudrajat, penurunan itu salah satunya turut disumbang oleh adanya pemotongan anggaran meeting dan seminar yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kementerian atau lembaga atau perusahaan sehingga membuat tingkat okupansi pada periode itu rata-rata hanya mencapai 45-50 persen.
Baca: Pariwisata Indonesia Terunggul di ASEAN, 3 Lokasi Disukai Turis
“Dengan adanya pemotongan anggaran untuk meeting, seminar, itu berdampak pada okupansi hotel dan restoran di Indonesia," kata Sudrajat di Hotel Borobudur, Senin, 14 Agustus 2017. Untuk diketahui, 2016 dan 2017 sudah banyak hotel yang dibangun, tapi okupansi hanya 45-50 persen.
Sudrajat menambahkan, turunnya tingkat okupansi hotel juga disebabkan oleh semakin banyaknya pertumbuhan hotel baru, di mana pertumbuhannya tidak sebanding dengan penambahan peningkatan wisatawan yang lebih sedikit.
Simak: Hotel Senilai Rp 50 Miliar Dibangun di Tondano
Ditambah lagi, sekarang banyak perusahaan-perusahaan yang awalnya bergerak di bidang konstruksi, perusahaan farmasi, dan jasa penerbangan seperti PT PP Properti, Kimia Farma, Angkasa Pura dan lain-lain yang turut mengembangkan bisnis hotel, sehingga membuat persaingan semakin ketat.
Secara nasional, kata Sudrajat, sebetulnya terjadi kenaikan kunjungan wisatawan baik nasional maupun internasional. "Tetapi secara masing-masing individu tiap hotel itu kita mengalami penurunan tingkat okupansi, tingkat hunian. Itu karena supply hotel sudah mulai over,” tuturnya.
Sudrajat berujar, industri hotel dan restoran berperan besar mendukung pertumbuhan di sektor pariwisata. Kenaikan di sektor pariwisata tentunya akan memberikan multiplier effect, yakni mendatangkan wisatawan mancanegara sehingga meningkatkan pertumbuhan devisa. Di sisi lain, lapangan kerja yang terbuka akan semakin luas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, industri minyak bumi dan gas masih memimpin dalam pemasukan negara. Namun cadangan minyak bukanlah hal yang bisa diperbaharui sehingga Indonesia harus mulai dapat mengembangkan potensi wisata dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada dari Sabang hingga Merauke.
Maka, menurut Sudrajat, pengganti devisa yang perlu dikembangkan adalah pariwisata. "Rancangan Kementerian Pariwisata diharapkan pada 2020, pariwisata dapat menjadi leading sektor di bidang ekonomi, karena batubara dan minyak akan mengalami penurunan,” kata dia.
DESTRIANITA