TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, membeberkan sejumlah kejanggalan dalam pengusutan kasus teror penyiraman air keras yang dialaminya. "Terdapat beberapa hal yang sebenarnya dipermasalahkan Novel Baswedan," kata ketua tim advokasi Novel, Haris Azhar, secara tertulis, Senin, 14 Agustus 2017.
Pertama, pemeriksaan polisi tidak didahului dengan surat panggilan pemeriksaan. Sejauh ini, kepolisian hanya mengajukan pendampingan proses penyidikan yang diterima KPK. Padahal di dalam KUHAP diatur bahwa pemeriksaan terhadap saksi harus didahului pemanggilan 3 x 24 jam sebelumnya.
Baca: Siapa Jenderal Peneror yang Dimaksud Novel Baswedan?
Kedua, pemeriksaan juga tidak didahului dengan koordinasi secara resmi kepada otoritas setempat. Menurut Haris, lazimnya pemeriksaan saksi di luar negeri harus didahului dengan koordinasi otoritas setempat, baik KBRI maupun institusi penegak hukum setempat.
Seharusnya, KBRI yang nanti mengajukan surat pemanggilan terhadap orang yang diperiksa. “Dalam pemeriksaan Novel Baswedan, hal tersebut tidak dilakukan polisi,” ucap Haris.
Ketiga, kesehatan Novel Baswedan masih dalam pengawasan dokter dan masih mengalami sejumlah gangguan karena dampak penyerangan yang dialami. Haris juga mengatakan, pada 17 Agustus mendatang, Novel akan menjalani operasi besar pada mata kirinya yang mengalami kerusakan parah akibat terkena air keras.
Baca: Novel Baswedan Harus Tetes Obat Mata di sela Pemeriksaan
“Keempat, pemeriksaan tidak didahului dengan meminta izin dari dokter yang merawat Novel,” tuturnya. Padahal selama ini Novel memiliki iktikad baik untuk diperiksa polisi. Ini sekaligus menampik tuduhan kepolisian yang mengatakan ia menghambat jalannya penyelidikan kasus.
Menurut Haris, tuduhan itu tidak berdasar. Sebab, Novel beberapa kali mendengar kepolisian menyatakan mereka terhambat saat memeriksa Novel. Padahal selama ini prosedur pemeriksaan belum pernah ditempuh polisi.
Novel sebelumnya juga pernah menceritakan kronologi dan informasi penyerangan kepada polisi. Itulah yang membuat Haris kemudian meragukan keseriusan polisi menuntaskan kasus Novel. "Bahkan ada ketidakpercayaan terhadap kinerja penyidikan kasus Novel, seperti tidak adanya sidik jari, polisi menyatakan orang yang mengintai rumah Novel hanyalah sekelompok 'mata elang', identitas saksi penting tidak dilindungi kepolisian, serta proses penyidikan yang berkembang sangat lambat selama lebih 4 bulan,” ucapnya.
Haris juga khawatir polisi akan meminta Novel membuktikan siapa aktor intelektual penyerangan. Hal tersebut dianggap tindakan yang tidak adil mengingat Novel adalah korban, bukan pelaku. Tanggung jawab mengungkap aktor intelektual adalah tugas kepolisian, bukan korban.
“Kekhawatiran lain adalah pemeriksaan hanya sekadar formalitas dan pintu masuk untuk menyudutkan Novel yang sudah berbicara ke media mengenai dugaan keterlibatan jenderal di kepolisian,” tuturnya. Jika hal itu terjadi, seharusnya kasus Novel Baswedan diselesaikan melalui tim gabungan pencari fakta, bukan kepolisian.
AVIT HIDAYAT