TEMPO.CO, Bangkok - Pimpinan PT Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) yang berkantor di Bangkok menyampaikan pernyataan untuk Nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pemerintah Indonesia terkait kasus ledakan anjungan minyak milik perusahaan patungan Thailand-Australia di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 yang dikenal dengan kasus Montara.
Montara. Chief Operating Officer Production Asset and Operations Syupport Group PTTEP Thongsthorn Thavisin mengatakan pihaknya ingin kasus yang sedang diusut pemerintah Indonesia ini cepat selesai. "Kami akan bertanggung jawab dan akan membuktikan yang salah," kata dia di kantornya, akhir pekan lalu. Thavisin siap berkolaborasi dan bekerja sama dengan pemerintah untuk menyelesaikan kasus Montara.
PTTEP, kata Thavisin, siap menunjukkan bukti-bukti terkait insiden Montara. Mengingat kasus PTTEP di Australia telah selesai. "Kita telah menyelesaikan apa yang diminta hukum (di sana)," kata dia. Dalam laporan tim investigas Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA), di bulan Agustus 2012, PTTEP AA mengaku bersalah di Pengadilan Magistrat Darwin dan membayar denda USD 510.000.
Thavisin menuturkan Indonesia dan Thailand mempunyai persamaan. "Kita kan sama-sama negara ASEAN, satu keluarga. Wajar kalau di dalam keluarga ada sedikit yang salah paham."
PTTEP ingin berinvestasi kembali di Indonesia. Salah satunya menggandeng Pertamina untuk menggarap sektor minyak dan gas. "Dengan begitu kita akan meningkatkan ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia," katanya.
Seperti diketahui, ledakan anjungan minyak milik perusahaan patungan Thailand-Australia di Laut Timor pada 21 Agustus 2009. Ledakan ini diduga mencemari pantai selatan sejumlah pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu dampak pencemaran menyebabkan komoditas rumput laut gagal total dan hasil tangkapan nelayan menurun hingga 80 persen dan menghilangnya jenis ikan-ikan di dasar Laut Timor.
Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator
Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno, mengatakan pemerintah menghentikan sementara kerja sama bisnis dengan PTTEP. Tindakan ini merupakan buntut dari pencemaran yang dilakukan PTTEP di lapangan minyak Montara, Laut Timor.
"Kami mengirim surat kepada instansi terkait untuk tidak bekerja sama dengan PTTEP," kata Havas di kantornya, Jumat 5 Mei 2017 lalu. Menurut Havas, moratorium berjalan sampai ada kepastian hukum.
Simak Pula: Tumpahan Minyak Montara, Pemerintah Gugat PTTEP Rp 27,4 Triliun
Havas mengaku sudah mengirimkan surat, antara lain, kepada PT Pertamina (Persero) agar tidak bekerja sama dengan PTTEP. Menurut dia, bukti-bukti pencemaran di Laut Timor akibat tumpahan minyak di Montara sudah ada, yaitu berupa sampel penyebaran kerusakan dan foto satelit.
Pemerintah telah menggugat PTTEP ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 3 Mei lalu. Havas mengatakan gugatan juga diajukan kepada PTTEP Australasia dan PTT Public Company Limited. Indonesia meminta perusahaan itu membayar ganti rugi Rp 27,4 triliun akibat kasus Montara. Perinciannya, Rp 23 triliun sebagai ganti rugi kerusakan lingkungan dan ada ganti rugi pemulihan kerusakan lingkungan Rp 4,4 triliun.
Menurut Havas, tumpahan minyak itu merusak 1.200 hektare lahan bakau, padang lamun seluas 1.400 hektare, dan terumbu karang 700 hektare. "Sehingga, selain ganti rugi kerusakan, dibutuhkan ganti rugi restorasi," ujarnya. Kini pemerintah meminta sita jaminan kepada tiga perusahaan itu.
DIKO OKTARA | ALI HIDAYAT | YOHANES SEO (KUPANG)