TEMPO.CO, Banyumas - Seratus orang yang terdiri atas santri dan warga Katolik mengikuti pelatihan melawan hoax. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama dua hari, Sabtu-Minggu, 19-20 Agustus 2017, di Pondok Pesantren An-Najah. Pelatihan ini diadakan untuk merespons kian merebaknya hoax di masyarakat.
"Walau tradisi tulis sudah lama tapi di daerah termasuk perkotaan tradisi lisan diterima dengan mudah tanpa kroscek. Tradisi literasi harus dihidupkan," kata Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Purwokerto Romo Teguh Budiarto kepada Tempo, Minggu, 20 Agustus.
Baca juga: Denda Rp 300 Ribu Tak Pasang Bendera di Kendaraan, Polisi: Hoax
Seratus orang yang menghadiri kegiatan tersebut, kata Teguh, terdiri atas santri Pondok Pesantren An-Najah, Gusdurian Muda Banyumas, dan GP Anshor Banyumas. Selain itu, juga melibatkan pemuda Katolik perwakilan gereja di wilayah Keuskupan Purwokerto yang terdiri atas 12 kabupaten dan 4 kota.
Teguh mencontohkan, bahaya hoax juga pernah terjadi di Pekalongan pada Maret 2017. Di kota tersebut diberitakan terjadi pertemuan generasi muda PKI. Padahal, sebenarnya kegiatan tersebut merupakan pengumuman lomba baca puisi. "Karena beritanya diedit dan dibikin menghebohkan. Sampai kegiatan tersebut dibatalkan," ujarnya.
Baca juga: Halau Konten Negatif, Google dan Kominfo Siapkan Program Ini
Tenaga Ahli Kedeputian Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi di kantor Staf Presiden (KSP), Alois Wisnuhardana, yang menjadi pemateri tunggal, mengatakan, di Indonesia sedang marak kelompok tertentu yang memproduksi berita hoax untuk kepentingan masing-masing.
Dia menyebut ciri hoax yang dilansir Google Lab News pada Hari Pers Internasional 2017 beberapa di antaranya dalam bentuk parodi, satire, dan kamuflase. "Informasi di telepon genggam sebanyak 89 persen adalah sampah hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan," ujarnya.
Baca juga: Jadi Korban Hoax, JK Minta Masyarakat Teliti Membaca Berita
Pengasuh Pondok Pesantren An-Najah, Gus Roqib atau biasa dipanggil KH Mohammad Roqib, menilai hoax telah melanggar etika dalam beragama. "Kalau dalam hadis menjadi standar keimanan, yaitu berilah informasi yang benar. Kalau tidak bisa maka diam," ujarnya.
Menurut Roqib, dalam hoax kerap terselip konten radikalisme. Di Ponpes An-Najah juga pernah ada santri yang mengikuti kelompok radikal. Upaya yang dilakukan untuk membendung hoax berbau radikalisme, dia meminta pengasuh lainnya untuk menjadi pendamping kepada santri yang terindikasi. "Ada santri putri yang bisa diselamatkan. Tapi juga ada sebagian besar santri putra tidak bisa ditangani dengan memilih keluar," ungkapnya.
BETHRIQ KINDY ARRAZY